Bima-NTB, Barometer99.com- Kisah memilukan datang dari keluarga kecil di Kota Bima. Seorang perempuan bernama Eni Anggraini mengungkapkan nasib pahit yang dialaminya setelah sang suami SF, yang merupakan pegawai Tata Usaha (TU) di MAN 2 Kota Bima, diduga menceraikannya secara sepihak tak lama setelah diangkat menjadi ASN PPPK.
SF yang sebelumnya dikenal sederhana, disebut berubah sikap setelah menerima SK pengangkatan sebagai pegawai pemerintah. Tak hanya meninggalkan rumah, ia juga disebut jarang menafkahi Anak-anaknya, bahkan sempat mengungkit utang lama kepada istrinya.
“Untuk anak, kadang cuma dikasih Rp10 ribu per hari. Kadang ada, kadang tidak sama sekali,” ungkap Eni dengan mata berkaca, Rabu (5/11/25).
Nafkah Tidak Konsisten, Bantahan Kepsek Dibantah Balik
Kepala MAN 2 Kota Bima sebelumnya sempat menyatakan bahwa SF masih bertanggung jawab memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Namun, pernyataan tersebut dibantah tegas oleh Eni.
“Saya akui SF pernah kirim uang, tapi itu bukan untuk nafkah anak. Itu untuk biaya operasi anak kami yang sakit. Setelah itu, tidak pernah lagi ada kiriman rutin,” tegasnya.
Menurut Eni, dirinya bukan hanya kecewa atas sikap sang suami, tetapi juga menyayangkan sikap pihak sekolah dan Kemenag Kota Bima yang disebutnya terkesan diam dan tidak tanggap terhadap persoalan rumah tangga pegawainya.
Pihak sekolah, menurut Eni, mengklaim sudah melakukan mediasi antara dirinya dan SF. Namun, ia menegaskan bahwa hal itu tidak pernah terjadi.
“Tidak pernah ada mediasi, tidak pernah dipanggil. Waktu keluarga saya datang ke sekolah bersama RT dan RW, malah tidak digubris. Sampai sekarang tidak ada titik terang,” ujar Eni kecewa.
Ia menambahkan, pihak keluarga juga tidak pernah mengusir SF dari rumah. Justru, SF masih kerap pulang pergi seenaknya hingga larut malam tanpa tanggung jawab terhadap keluarga.
“Dia bebas keluar masuk rumah. Tapi setelah jadi PPPK, malah semakin sering pulang malam dan akhirnya pergi begitu saja,” kata Eni lirih.
Akibat konflik ini, Eni mengaku mengalami tekanan psikologis dan stres berat. Ia berusaha bertahan demi anak-anaknya yang masih kecil dan membutuhkan perhatian.
“Secara psikologis saya sangat tertekan. Saya tidak ingin masalah ini berlarut. Saya hanya ingin ada kejelasan dan keadilan, demi anak-anak kami,” tutupnya.
Kasus ini mulai menyita perhatian publik Kota Bima, terutama di lingkungan pendidikan dan keagamaan. Banyak pihak menilai, seorang aparatur negara terlebih yang bekerja di lembaga keagamaan seharusnya menjadi teladan, bukan justru menelantarkan keluarga.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Kemenag Kota Bima belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan pelanggaran etik dan moral yang dilakukan oleh SF. (*).
