Kendari, Barometer99.com – Gelombang dukungan terhadap perjuangan insan pers terus berdatangan. Di tengah upaya mencari jalan damai dengan pihak kepolisian, Koalisi organisasi pers menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa sekadar ditutup dengan komunikasi semata. Masih ada oknum polisi yang disebut arogan, tidak memahami aturan, dan bahkan mempermalukan profesi wartawan di hadapan publik.
“Kami berkomunikasi baik dengan Kapolres Konawe, Kabag Ops, dan Irwasda Polda Sultra juga sudah menerima laporan kami secara terbuka. Itu patut diapresiasi,” kata perwakilan Koalisi Pers.
Namun, di balik ruang komunikasi yang terbangun, ada persoalan yang dianggap krusial. “Kalau oknum seperti ini tidak diberi pelajaran, ia akan tetap arogan. Jelas dalam aturan hukum, jelas dalam Perkapolri, jelas dalam Undang-Undang Pers, bahwa aparat harus menghormati kerja jurnalistik. Kami bisa memaafkan secara pribadi, tapi secara institusional, pelanggaran ini harus dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Surat Aduan Diterima Irwasda
Koalisi Pers telah menyampaikan surat aduan resmi ke Inspektorat Pengawasan Daerah (Irwasda) Polda Sultra. Laporan itu diterima dengan komitmen akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme internal kepolisian. Hal ini menegaskan bahwa persoalan yang dilaporkan bukan sekadar opini, melainkan bagian dari proses hukum dan pengawasan internal Polri. Di ruangan itwasda, kami sudah ceritakan semua kronologis kejadian dengan sebenarnya.
Dasar Hukum yang Dilanggar
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 4 ayat (1): Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Pasal 4 ayat (2): Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Pasal 8: Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.
→ Intimidasi atau mempermalukan wartawan adalah bentuk pelanggaran terhadap perlindungan hukum bagi profesi pers.
2. Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian
Pasal 2: Setiap anggota Polri wajib menjunjung tinggi HAM dalam menjalankan tugas.
Pasal 7: Anggota Polri dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang atau merendahkan martabat manusia.
→ Sikap arogan dan mempermalukan wartawan jelas bertentangan dengan kewajiban Polri menjaga harkat martabat warga negara.
3. Kode Etik Profesi Polri (Kep/Polri/KEP/32/XII/1995, jo. Perkap No. 14 Tahun 2011)
Anggota Polri wajib menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Polri.
Dilarang melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nama baik pribadi maupun institusi.
Harus mengedepankan sikap santun, menghormati HAM, serta menghargai profesi lain.
→ Tindakan mempermalukan wartawan bukan saja pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran etika kepolisian.
Gelombang Dukungan Semakin Luas
Menurut kesaksian, sebagian besar anggota Polres Konawe bersikap santun. Tetapi ada satu oknum yang bertindak sebaliknya. “Dia yang mempermalukan profesi kami. Pertanyaannya sederhana: kenapa tidak gentleman mengakui kesalahan? Datang dan temui kami, jangan kami yang harus mencarinya. Kami tidak minta dia dipermalukan, kami hanya minta pertanggungjawaban.”
Dukungan terhadap langkah koalisi pers pun semakin menguat. Setelah sebelumnya sejumlah organisasi pers bersuara, kini Aliansi Wartawan Indonesia (AWI) turut menyatakan dukungannya. Kehadiran AWI disebut mempertegas solidaritas wartawan dalam menuntut penyelesaian yang adil. “Kasus ini bukan hanya soal individu, tapi soal marwah profesi wartawan. Kami berdiri bersama,” tegas pernyataan dari AWI.
Koalisi menekankan, bila memang ada upaya damai, damai itu harus berangkat dari pengakuan fakta. “Kalau dari pihak kepolisian ada kelalaian, akui itu sebagai kelalaian. Kalau dari kami ada kekeliruan, silakan sebutkan. Jangan justru menutupi,” tambahnya.
Bagi koalisi, laporan resmi yang sudah diterima Irwasda Polda Sultra adalah bukti keseriusan menjaga kehormatan profesi. “Kami ingin penyelesaian bermartabat, bukan konflik. Tapi jangan sampai oknum yang arogan dibiarkan tanpa sanksi, sebab itu mencederai demokrasi dan kebebasan pers.”
Dengan demikian, gelombang dukungan dari berbagai organisasi pers, termasuk AWI, menjadi tanda bahwa persoalan ini bukan hanya kasus lokal, tetapi simbol perlawanan terhadap arogansi aparat yang tidak taat aturan.***