Raja Kaiely Lantang Bersuara: Tunda Penertiban Gunung Botak Sekarang Juga, Keadilan Adat Tak Bisa Ditawar Lagi

Pulau Buru, Barometer99.com Sebuah ultimatum bernada tajam kini mengarah langsung ke meja Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, datang dari penjaga tanah adat Petuanan Negeri Kaiely.

Raja Kaiely, Abdulah Wael, tidak lagi sekadar meminta, melainkan mendesak keras penundaan agenda penertiban di kawasan panas Gunung Botak.

Ini bukan lagi soal negosiasi, ini adalah soal harga diri dan sebuah seruan lantang demi tegaknya keadilan adat yang terasa mulai diinjak-injak.

Gelombang perlawanan ini membesar, membawa pesan bahwa kesabaran masyarakat adat ada batasnya.

*Desakan Penundaan Berbalut Kemanusiaan dan Keadilan*

Pada Jumat, 11 Juli 2025, suara Raja Kaiely terdengar jelas dan tanpa keraguan.

Ia mendesak Gubernur Maluku agar menunda seluruh kegiatan penertiban di Gunung Botak hingga bulan Desember 2025.

Alasan kemanusiaan menjadi lapisan terluar dari desakan ini, yaitu memberikan ruang bagi para penambang non-Muslim untuk mengais rezeki menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru.

BACA JUGA :  Atasi Kebocoran Di Kapal, Siswa Dikmaba TNI AL Angkatan XLII/1 Pusdiktek Lattek Penanggulangan Kebocoran

Namun, di balik itu, ada inti persoalan yang jauh lebih fundamental.

“Penundaan ini krusial agar keadilan bagi masyarakat adat kami tidak dikesampingkan,” tegas Raja Abdulah Wael.

Ini adalah sinyal pertama bahwa ada luka dan ketidakadilan yang mendasari seluruh polemik ini.

*Anomali Sepuluh Koperasi Menjadi Pemicu Utama*

Keadilan adat yang diserukan Raja Kaiely merujuk pada manuver sepuluh koperasi tambang yang berencana beroperasi di wilayah mereka.

Hingga detik ini, pihak adat dan para ahli waris sama sekali tidak diberi kejelasan.

“Kami dibiarkan buta, lahan mana yang akan mereka garap, bagaimana mekanismenya, semua gelap,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Raja menuntut Gubernur Maluku untuk segera meninjau ulang perizinan koperasi-koperasi tersebut, yang dinilai penuh kejanggalan.

BACA JUGA :  Tingginya Curah Hujan, Polsek Mempawah Hulu Cek Debit Air

Bahkan, terungkap sebuah fakta yang sangat serius.

Empat dari sepuluh koperasi yang ada, diduga kuat belum memiliki Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang sah.

“Bagaimana bisa pemerintah provinsi membiarkan entitas yang diduga ilegal hendak beroperasi di tanah adat kami? Ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata,” seru Raja.

*Ketika Tanah Adat Adalah Harga Diri*

Bagi Raja Kaiely dan masyarakatnya, persoalan ini melampaui urusan administrasi dan ekonomi.

Penolakan ini adalah cerminan dari kuatnya ikatan mereka pada tanah leluhur.

Tanah bagi masyarakat adat Buru bukanlah properti yang bisa diperjualbelikan, melainkan warisan suci yang mengandung nilai spiritual dan identitas budaya.

Aktivitas pertambangan yang serampangan dikhawatirkan akan merusak tatanan sakral itu.

Soliditas masyarakat adat yang berdiri kokoh di belakang Raja mereka menjadi pesan yang tak bisa dianggap remeh.

BACA JUGA :  Minggu Kedua November, Ditresnarkoba Polda Sumsel Bersama Polrestabes dan jajaran, Berhasil Ungkap 29 Kasus Narkoba

Perjuangan ini adalah pertaruhan harga diri dan masa depan generasi mereka.

*Peringatan Keras untuk Sang Gubernur*

Sikap tegas Raja Kaiely adalah sebuah peringatan dini bagi Gubernur Maluku.

Jika desakan untuk menunda penertiban demi meninjau ulang seluruh proses ini diabaikan, potensi konflik yang lebih besar di kemudian hari sudah di depan mata.

Ini adalah upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah lewat jalur dialog yang bermartabat, sebelum masyarakat menempuh cara mereka sendiri untuk mempertahankan haknya.

Suara dari Negeri Kaiely menjadi representasi perjuangan keadilan adat di seluruh Indonesia.

Raja Kaiely menegaskan, inti dari penolakan ini terletak pada kesadaran penuh masyarakat atas hak mereka yang tidak bisa diganggu gugat, sebuah pesan yang kini menunggu respons bijak dari Gubernur Maluku.

(DHET)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *