Barometer99, Lombok Barat-NTB- Tragedi memilukan dialami para peternak sapi asal Nusa Tenggara Barat. Belasan sapi dilaporkan mati di Pelabuhan Gili Mas, Lombok Barat, akibat terlalu lama menunggu giliran kapal untuk menyeberang. Para peternak terpaksa menanggung sendiri seluruh kerugian, tanpa ada tanggung jawab dari pihak ekspedisi.
Sudah enam hari para peternak terlantar di pelabuhan tanpa kejelasan jadwal keberangkatan. Selain khawatir dengan kondisi kesehatan hewan ternak mereka yang terus menurun akibat stres dan kekurangan pakan, para peternak juga kehabisan bekal untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
“Kami sudah enam hari di pelabuhan. Pakan sapi sudah habis karena terlalu lama antre,” ujar seorang peternak asal Bima yang enggan disebutkan namanya, Rabu (23/4/2025).
Untuk tetap memberi makan sapi, para peternak harus menyewa mobil pick-up seharga Rp300 ribu per hari guna mencari rumput di luar pelabuhan. Kondisi ini makin menambah beban biaya yang mereka tanggung sendiri.
Puluhan truk tronton dan fuso pengangkut sapi masih mengantre panjang di area pelabuhan. Akibat panas dan stres selama perjalanan, belasan sapi mati di dalam truk.
Ironisnya, pihak ekspedisi menolak bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Para peternak menanggung seluruh risiko, termasuk jika terjadi kecelakaan atau kematian hewan selama dalam perjalanan.
Sebagai informasi, biaya sewa transportasi ternak dari NTB menuju Jabotabek dikenakan Rp1,4 juta per ekor. Untuk satu mobil fuso berkapasitas 25 ekor dikenakan biaya Rp23 juta, sementara mobil tronton berkapasitas 30 ekor mencapai Rp28 juta. Semua biaya ini sudah termasuk biaya angkut dan penyeberangan kapal.
Namun setelah Pelabuhan Lembar dibuka untuk penyeberangan ke Bali, para peternak justru dibebani lagi dengan biaya tambahan sewa kapal. Padahal sebelumnya mereka telah membayar lunas biaya pengiriman ke pihak ekspedisi.
“Jangankan untuk tambah sewa kapal, uang makan saja kami sudah tidak punya,” keluh seorang peternak.
Beberapa peternak memilih bertahan di Pelabuhan Gili Mas karena tidak mampu membayar biaya tambahan tersebut.
“Tambahan sewa kapal seharusnya urusan ekspedisi dan sopir, bukan kami. Tapi kenapa sekarang jadi beban kami juga?” ujarnya kesal.
Tidak hanya itu, Peternak sesalkan sikap pihak ekspedisi yang tidak pernah mengawal mereka sampai di Pelabuhan. “Kami dilepas begitu saja. Giliran kami telantar di Pelabuhan selama enam hari pihak ekspedisi tidak pernah nongol wajahnya,” kencamnya.
Dikatakannya juga, pihak ekspedisi pada saat kami hubungi mengatakan bukan urusannya terkait telantar di Pelabuhan. Dan mereka hanya menyediakan mobil fuso atau tronton dan surat jalan. (S*).