Barometer99, Jakarta- Pembahasan revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) berpotensi menimbulkan polemik, mirip dengan yang terjadi pada RUU TNI. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan kesiapan untuk membahas RUU Polri apabila dianggap mendesak. Namun, hingga kini DPR masih memprioritaskan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan bahwa hingga awal pekan ini belum ada surat presiden (Surpres) yang masuk ke DPR untuk memulai pembahasan RUU Polri. “Belum ada Surpres yang masuk ke DPR untuk membahas RUU Polri,” ujarnya. Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR, juga mengonfirmasi bahwa revisi UU Polri belum menjadi prioritas utama saat ini.
Namun demikian, RUU Polri termasuk dalam daftar rancangan undang-undang inisiatif DPR dan pembahasannya telah dimulai sejak 2024. Dalam draf RUU Polri yang dilansir dari tempo, sejumlah pasal yang diusulkan mengalami perubahan signifikan dan menuai sorotan publik.
Pasal-Pasal yang Jadi Sorotan
Pasal 16 Ayat 1 Huruf q
Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, dan perlambatan akses ruang siber dengan alasan keamanan dalam negeri. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengkritik pasal ini karena berpotensi mengurangi kebebasan berpendapat publik serta menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Pasal 14 Ayat 1 Huruf g
Pasal ini mengusulkan agar Polri memiliki kewenangan untuk mengoordinasi, mengawasi, dan memberikan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang, serta pengamanan swakarsa. Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa pasal ini berpotensi menjadikan Polri sebagai ‘investigator superbody’ dengan kewenangan yang terlalu luas.
Pasal 16A
Pasal ini mengatur kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelijen Keamanan (Intelkam) sebagai bagian dari kebijakan nasional. Usulan ini dinilai dapat memperluas kewenangan Polri secara berlebihan, bahkan melebihi lembaga intelijen lain seperti BSSN dan Badan Intelijen Strategis TNI.
Pasal 30 Ayat 2
Draf RUU Polri juga mengusulkan perpanjangan batas usia pensiun bagi anggota kepolisian. Jika disahkan, usia pensiun anggota Polri akan diperpanjang hingga 60 tahun, sementara bagi mereka yang memiliki keahlian khusus menjadi 62 tahun, dan pejabat fungsional hingga 65 tahun. Usulan ini ditentang oleh beberapa kalangan karena dianggap menghambat regenerasi kepemimpinan dalam tubuh Polri serta berpotensi memperparah masalah penumpukan perwira tinggi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengingatkan agar DPR dan pemerintah tidak terburu-buru dalam menyusun undang-undang. Ia menyarankan agar RUU Polri tidak diprioritaskan di tengah urgensi rancangan undang-undang lain yang lebih mendesak, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, hingga RUU Masyarakat Adat.
“Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini,” tegas Isnur. (Red).