Megawati Soroti Banyak Anak Muda Tak Tahu Sejarah Indonesia

Barometer99.com Megawati Soekarnoputri, dengan PDIP sebagai kendaraan politiknya, sering kali tampil membawa narasi nasionalisme yang eksklusif, seolah-olah nasionalisme Soekarno memiliki saham terbesar dalam pembentukan NKRI. Dia menempatkan ayahnya sebagai tokoh utama dan tunggal atas kemerdekaan Indonesia dengan nasionalismenya.

Pandangan ini menjelma menjadi mitologi politik yang terus dijual kepada publik, dengan klaim bahwa tanpa Soekarno, Indonesia tidak akan pernah merdeka. Padahal, kemerdekaan Indonesia adalah hasil pergulatan panjang dan kolektif, baik oleh berbagai elemen bangsa maupun faktor eksternal yang sangat menentukan.

Jika ditelusuri lebih jernih, nasionalisme Soekarno justru sebenarnya tidak sepenuhnya bekerja dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Kemenangan Amerika Serikat atas Jepang di Perang Pasifik menjadi titik balik yang memutus pendudukan Jepang di Asia, termasuk di Indonesia. Kekalahan Jepang itulah yang membuka ruang kosong kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan oleh anak bangsa untuk memproklamasikan kemerdekaan.

BACA JUGA :  Babinsa Meningkatkan Kemanunggalan TNI Dengan Rakyat

Namun, perlu dikaji lebih dalam, dengan pembacaan Proklamasi itu bukan berarti benar-benar merdeka secara de facto. Jika hanya mengandalkan proklamasi Soekarno, kemerdekaan itu sebenarnya masih rapuh atau jauh panggang dari api. Belanda bahkan dengan dukungan pasukan Sekutu, akhirnya kembali dari Australia dan merebut kembali Indonesia. Kita tidak benar-benar merdeka setelah proklamasi!

Lalu munculah intervensi internasional, khususnya tekanan Amerika melalui Marshall Plan dan perundingan Renville, menjadi faktor krusial. Amerika Serikat yang saat itu berkepentingan menstabilkan dunia setelah perang, dengan program dekolonisasi bangsa-bangsa dengan prinsip kesetaraan, lalu menekan Belanda dengan Marshall Plan, mereka mau duit Amerika yang milyaran dollar dalam Marshal Plan atau tinggalkan Indonesia!

Amerika Serikat melalu George Marshall secara aktif mendorong Ratu Juliana dan Den Haag untuk mengakhiri petualangan kolonialnya di Indonesia. Tanpa tekanan itu, Indonesia bisa jadi hanya berpindah tangan penjajah dari Jepang kembali ke Belanda saja, dengan perjuangan bersenjata yang jauh lebih getir dan menyedihkan.

BACA JUGA :  Babinsa Senam Bersama Dengan Warga

Sayangnya, narasi besar ini kerap dikerdilkan oleh kaum Nasionalis yang menjadikan Soekarno sebagai ikon tunggal, seakan-akan tokoh lainnya, dan usaha bangsa lain hanya menjadi catatan pinggir sejarah. Padahal Soekarno pernah mencatat kesalahan fundamental yang jarang muncul ke permukaan, bahwa dia sempat salah membaca arah kekuatan global dengan terlalu mengandalkan Jepang, pihak yang justru sedang menuju kekalahan total dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.

Laksamana Maeda dan Marsekal Terauchi memberi ilusi ruang untuk kemerdekaan kepada Soekarno, tetapi sejatinya itu hanyalah strategi politik Jepang untuk mempertahankan simpati rakyat di saat mereka sendiri sudah terdesak oleh kekuatan Amerika. Jepang sebenarnya ingin menjadikan Indonesia sebagai benteng terakhir perlawanan, dengan iming-iming kemerdekaan kepada ikon nasionalisme Indonesia, yakni Soekarno.

BACA JUGA :  Musnahkan Miras dan Sajam, Kasdim Jayawijaya: Tindak Tegas Peredaran Miras Guna Kondisifitas Kamtibmas

Berbeda dengan Soekarno, Mohammad Hatta justru lebih realistis. Dengan latar belakang pendidikan dan pemahamannya terhadap dunia internasional di Belanda, dia memahami bahwa Amerika adalah kekuatan baru yang mesti didekati. Hatta melihat arah perubahan dunia pasca-Perang Dunia II, sementara Soekarno masih terpaku pada idealisme nasionalis yang sempit dengan harapan pada Jepang yang kalah.

Ironisnya, dalam narasi yang didorong kaum Nasionalis, peran Hatta serta kontribusi internasional termasuk peran Amerika nyaris tidak pernah mendapat tempat, atau bahkan Tan Malaka yang menggugah kesadaran rakyat Indonesia justru berakhir dengan tragis oleh rakyat yang ingin disadarkannya. Sekali lagi seperti kata Soekarno “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (yang benar)”

(Ril/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *