Amandemen Kelima UUD NRI 1945 Untuk Optimalisasi Praktik Ketatanegaraan

Catatan Politik Senayan

Barometer99.com Bambang Soesatyo Anggota DPR RI/Ketua MPR RIke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana (S3) IImu Hukum Universitas Borobudur/Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (Unhan)

SKALA kerusakan atau kemunduran yang diwariskan kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto plus berbagai persoalan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini tercermin dari korupsi yang marak, terkotak-kotaknya masyarakat, gaduh yang tak berujung hingga melemahnya ketahanan ekonomi. Realitas kerusakan yang kini menjadi pekerjaan rumah Presiden Prabowo itu terjadi akibat tata kelola kekuasaan, hukum, hingga etika publik yang masih berselimutkan persoalan struktural. Dari evaluasi kritis terhadap ragam ekses praktik ketatanegaraan saat ini, menjadi nyata urgensi dan relevansi untuk amandemen kelima UUD NRI 1945.

Diprakarsai oleh berbagai kalangan dengan menggunakan ragam platform media sosial, Informasi tentang fakta kerusakan itu tersaji setiap hari di ruang publik. Semuanya bukan rahasia karena sudah menjadi pengetahuan bersama. Ada narasi tentang tebang pilih penanganan tindak pidana hingga narasi tentang rekayasa kasus pidana. Tentu saja dibumbui dengan narasi tentang penegak hukum yang sudah tidak independen lagi.

Fakta tentang terkotak-kotaknya masyarakat pun cenderung melebar dan semakin rumit karena setiap komunitas fokus menyuarakan agenda persoalan masing-masing. Semuanya adalah residu politik dari Pemilihan Umum 2024. Ada komunitas yang menyoal aspek etika dan moral segelintir elit. Komunitas lain menyoal kapabilitas dan kompetensi sosok-sosok pemimpin publik. Dinamikanya memuncak dan memasuki zona sangat sensitif ketika komunitas purnawirawan militer menyuarakan aspirasi mereka ke DPR tentang urgensi penguatan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

BACA JUGA :  Wakil Bupati Bima Pimpin Apel Gelar Pasukan Operasi Ketupat Rinjani 2025 

Persoalan bersama yang dihadapi segenap elemen bangsa terasa menjadi sangat pelik ketika harus pula menyoal faktor melemahnya kinerja perekonomian nasional dengan segala eksesnya. Fakta ini tak boleh luput dari perhatian. Tidak sedikit bisnis atau usaha skala besar, menengah maupun skala kecil telah bangkrut akibat serbuan produk impor maupun faktor melemahnya konsumsi masyarakat. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berkelanjutan tak terhindarkan. Per Februari 2025, total pengangguran di dalam negeri tercatat 7,28 juta orang. Jumlah rielnya dipastikan lebih besar karena angkatan kerja baru yang masuk pasar kerja per tahunnya rata-rata dua hingga tiga juta.

Seperti itulah ringkasan masalah yang nyata-nyata sedang menyelimuti Indonesia. Memang, Indonesia tidak sendiri. Di tengah perubahan zaman yang sarat ketidakpastian seperti sekarang, sejumlah negara pun dirundung masalah dengan model persoalan yang tentunya berbeda. Tantangannya pasti sama, yakni bagaimana segera mengatasi persoalan-persoalan dimaksud demi kebaikan semua orang.

Begitu juga dengan Indonesia. Semua kerusakan itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Dibutuhkan inisiatif-inisiatif baru untuk menghentikan dan memperbaiki kerusakan itu. Dari mana memulainya tentu harus berpijak pada akar masalah. Untuk sampai pada akar masalah, perlu dilakukan evaluasi kritis yang komprehensif.

Setelah lebih dari dua dekade reformasi berjalan, warga bangsa masih dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia belum sepenuhnya menemukan sistem ketatanegaraan yang mampu menjawab dinamika perubahan zaman secara utuh dan berkesinambungan. Sistem ketatanegaraan Indonesia belum mampu menyejahterakan seluruh rakyat. Sudah empat kali UUD 1945 mengalami perubahan yang dilakukan pada periode 1999–2002. Perubahan itu memang telah membawa transformasi besar. Namun masih banyak persoalan struktural dalam tata kelola kekuasaan, hukum, hingga etika publik yang membutuhkan pembaruan serius. Patut dipahami bahwa persoalan-persoalan struktural itulah yang menyebabkan negara belum mampu menyejahterakan rakyatnya.

BACA JUGA :  Meriahkan HUT Ke-77 RI, Persit Kodim 1715/Yahukimo Gelar Berbagai Lomba

Ringkasan masalah yang telah dipaparkan tadi menjadi bukti bahwa praktik ketatanegaraan pasca reformasi belum optimal, bahkan pada beberapa aspek justru terjadi kemunduran. Terjadi kooptasi kekuasaan oleh oligarki. Oligarki tidak pernah peduli pada rakyat karena dia fokus cari untung untuk kelompoknya. Kooptasi oleh oligarki menyebabkan sistem check and balances menjadi sangat lemah, bahkan nyaris tak berfungsi. Akuntabilitas etis di kalangan pejabat publik pun mendekati titik nol, sehingga tak mengherankan jika korupsi semakin marak dengan skala yang terus menggelembung di kisaran triliunan rupiah.

Semua kerusakan atau kemunduran ini mencerminkan kegagalan implementasi demokrasi substansial, karena desain institusionalnya memang belum cukup matang dan belum efektif. Jadi, gagasan perubahan UUD NRI 1945 kelima bukan muncul dari ruang hampa. Usulan ini dilandasi evaluasi kritis terhadap praktik ketatanegaraan pasca reformasi yang justru mengalami kemunduran. Amandemen kelima UUD NRI 1945 diperlukan untuk menjawab tantangan zaman dan memperbaiki semua kerusakan yang terjadi saat ini.

Harus dilakukan penataan kembali lembaga perwakilan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tidak efektif layak diubah menjadi Fraksi Utusan Daerah di DPR, agar suara atau aspirasi daerah benar-benar masuk dan terakomodasi dalam setiap keputusan nasional. Selain itu, MPR perlu kembali diperkuat oleh Fraksi Utusan Golongan sebagai representasi kelompok profesi, agama, adat, dan masyarakat sipil yang selama ini terpinggirkan dalam sistem politik berbasis partai.

BACA JUGA :  Fun Bike Digelar Polda Sumut dan Kodam I BB Meriah

Tak kalah pentingnya adalah memperkuat kembali peran dan fungsi MPR sebagai lembaga strategis yang menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Penguatan MPR harus diterima sebagai langkah penting dan strategis dalam mengembalikan keutuhan sistem perwakilan rakyat dengan model yang lebih efektif dan representatif.

Tentu saja penguatan sistem kepemimpinan nasional juga perlu dilakukan. Sepakat dengan usulan Profesor Jimly Asshiddiqie bahwa presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan sosok wakil presiden diajukan oleh presiden terpilih untuk mendapatkan persetujuan dari MPR. Model ini diyakini mampu menghindarkan bangsa dari jebakan koalisi transaksional yang selama ini sering kali menyandera kinerja pemerintahan sejak awal pembentukannya.

Belajar dari pengalaman, Indonesia sejatinya memang sangat butuh Mahkamah Etika Nasional. Mahkamah seperti ini relevan dan nyata urgensinya karena menjadi puncak peradilan etik untuk mengawasi hakim, pejabat negara, dan pejabat publik lainnya. Di tengah krisis etika yang terus membayangi birokrasi dan lembaga hukum, Mahkamah Etika menjadi terobosan penting dalam menegakkan moralitas penyelenggara negara.

Konstitusi adalah dokumen hidup yang harus mampu menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan akarnya. Usul amandemen kelima UUD NRI 1945 digagas dengan semangat menjawab realitas kebutuhan bangsa, tanpa menyentuh isu-isu kontroversial seperti perpanjangan masa jabatan atau pelemahan demokrasi.

(Ril/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *