Barometer99, Mataram-NTB- Ratusan mahasiswa Universitas Mataram (Unram) menggelar unjuk rasa di gedung DPRD Provinsi NTB.
Demo tersebut akhirnya ricuh, mahasiswa yang merangsek memaksa masuk ke dalam gedung DPRD ditahan aparat kepolisian. Jum’at, 23/8/24.
Mahasiswa saling dorong dengan aparat kepolisian pun tidak dapat dihindari.
Kendati saling dorong tersebut, Kepolisian mengerahkan ratusan personil dan satu mobil water Cannon untuk menghadang masa aksi.
Aksi demonstrasi terebut, Mahasiswa dari Unram menggelar orasi menyampaikan protes atas ditolaknya putusan Mahkamah Konstitusi No.60/PUU-XXII/2024 oleh DPR RI.
“Kami mengawal keputusan MK yang harus benar-benar dilaksanakan, jangan sampai DPRD ini hanya tampil berjam-jam untuk melawan keputusan MK, karena ini adalah keputusan final,” ungkap Kordum Aksi, Herianto saat diwawancarai media.
MK merupakan lembaga agung serta tinggi. Katanya, saat putusan hukum MK diacuhkan oleh DPR, maka dapat dikatakan demokrasi telah mati.
“UU lain tidak pernah cepat direspon oleh DPRD, tapi kenapa tentang Pilkada ini cepat direspon. Ini menggambarkan bagaimana keadaan politik kita hari ini,” ujarnya.
Mahasiswa menyayangkan, saat ini kepentingan kelompok telah mengalahkan kesatuan bangsa. Nilai-nilai Pancasila dan demokrasi menjadi mati di hadapan rezim.
“Aksi ini spontan kami lakukan setelah mengamati perkembangan politik nasional terkait diabaikannya putusan MK oleh DPR dan senayan,” ungkap salah satu mahasiswa lainnya.
Mahasiswa akan menggelar aksi berikutnya pada siang hari dengan massa yang lebih besar dari seluruh kampus di Provinsi NTB. Ia juga mengimbau agar kampus-kampus di tanah air turut bergerak menolak langkah yang dapat membunuh demokrasi.
Ambang batas pencalonan pemilihan kepala daerah berubah setelah MK memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora.
Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Sehari usai putusan, DPR dan pemerintah langsung menggelar rapat untuk membahas revisi Undang-Undang Pilkada. Revisi yang dilakukan tidak sesuai dengan putusan MK. (S*).