Ketika Warga Baduy Ditolak Rumah Sakit Jakarta

Jakarta, Barometer99.com – Tidak ada yang tahu kapan tragedi itu akan datang. Manusia hanya mampu berikhtiar, namun takdir tetap di tangan Tuhan.

Setiap kejadian selalu mengandung hikmah. Adakalanya ia menguji kesabaran seseorang, kemampuan untuk terus bertahan atau bahkan menguji batas keimanan seseorang.

Di balik peristiwa baik dan buruk ada makna dan juga pelajaran yang mesti dipetik. Boleh jadi, dari peristiwa itu seseorang menjadi lebih yakin atas apa yang diperjuangkannya selama ini, atau bisa juga ia adalah sebuah koreksi itu sendiri atas apa yang menurutnya benar sesuai rencana.

Kondisi inilah yang sedang menimpa warga Baduy di Jakarta belum lama ini. Media ramai menyoroti kasus pembegalan seorang warga suku Baduy bernama Repan (16 tahun) yang membuatnya tidak saja kehilangan uang dan barang berharga, tapi juga sayatan luka akibat terkena senjata tajam pelaku (begal).

Momen ini seketika menyedot perhatian publik. Terlebih lagi ketika rumah sakit yang didatangi korban justru menolak untuk memberikan pertolongan medis.

Sorotan itu makin tajam, khususnya tertuju kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, lantaran kasus yang menimpa Repan ini begitu luar biasa mendapat atensi luas masyarakat Indonesia.

Lantas bagaimana cerita ini bermula dan benarkah Pemda DKI lepas tangan?

*Tragedi Kemanusiaan*

Peristiwa pembegalan yang menimpa Repan, seorang pria asal Suku Baduy, di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu ini lebih tepat disebut sebagai sebuah tragedi kemanusiaan.

BACA JUGA :  Babinsa Koramil Gemolong Laksanakan Pembinaan PPBN

Fenonema ini menyisakan luka mendalam bagi banyak pihak. Tidak hanya luka fisik akibat sabetan senjata tajam dari pelaku begal, melainkan juga luka sosial yang menampar nurani publik.

Repan memang bukan warga asli Jakarta, sehingga apapun alasan untuknya tetap saja tidak bisa dilihat dalam kacamata positivistik, kecuali melalui kacamata empati dan rasa kemanusiaan itu sendiri.

Repan adalah korban yang mengalami dua kerugian sekaligus: pertama saat diserang pelaku kejahatan, lalu kedua kalinya ia ditolak oleh rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat perlindungan pertama bagi warga yang terluka dan membutuhkan pertolongan cepat.

Menurut pemberitaan yang beredar, Repan dibegal oleh empat orang saat hendak berjualan di waktu subuh. Dalam upayanya menyelamatkan diri, justru peristiwa nahas terjadi di mana tangannya ikut tersayat cukup dalam yang membuatnya harus menderita luka sayatan.

Dengan kondisi berdarah, Repan tetap menunjukkan ketangguhannya menghadapi situasi sulit. Ia berusaha bangkit dan mencari pertolongan medis di rumah sakit terdekat, meski dalam kondisi yang sangat melelahkan.

Namun, yang disayangkan publik pihak rumah sakit tempat pertama kali korban meminta pertolongan justru menolak memberikan pelayanan karena Repan tidak memiliki kartu identitas resmi.

Akan tetapi, problemnya bukan pada soal apakah korban adalah warga yang namanya tercatat di dokumen kependudukan atau tidak, melainkan pada sisi kondisi darurat yang menuntut rasa kemanusiaan tinggi.

Imbas dari kejadian ini, masyarakat akhirnya bereaksi keras dan meminta pertanggung jawaban pihak rumah sakit.

BACA JUGA :  Dandim 1802/Sorong Pimpin Acara Korps Raport dan Tradisi Pindah Satuan

Publik menilai bahwa rumah sakit seharusnya lebih mengutamakan kemanusiaan di atas proseduralitas dan urusan administrasi.

Ketiadaan dokumen identitas sama sekali bukan menjadi alasan untuk tidak diperbolehkan seseorang mendapat pertolongan darurat.

Bukankah Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan dengan tegas menyebutkan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada siapa pun tanpa memandang latar belakang atau status administratif pasien.

Beruntungnya, setelah penolakan tersebut, Repan akhirnya berhasil menemukan rekannya dan kemudian diterima di rumah sakit lain untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut.

Dari kasus Repan ini, pelajaran berharga yang bisa dipetik adalah bahwa urusan kemanusiaan harusnya menjadi prioritas di atas perkara materiil atau pertimbangan teknis proseduralitas lainnya.

*Menilik Kebijakan Kesehatan di Era Gubernur Pramono Anung*

Merespons perkara ini, penting untuk menegaskan bahwa penolakan rumah sakit terhadap korban bukan merupakan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi murni keputusan sepihak dari rumah sakit terkait.

Pemda DKI seperti diketahui, utamanya di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung, justru dikenal sangat peduli terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, baik warga ber-KTP DKI maupun mereka yang hanya singgah sementara di ibu kota.

Mari kita lihat lebih jauh, bahwa di era kepemimpin Gubernur Pramono Anung, berbagai inovasi di bidang kesehatan terus dilakukan. Ini dimanifestasikan dengan cara memperluas jangkauan program Jakarta Sehat, memperkuat layanan gawat darurat 24 jam melalui sistem Public Safety Center (PSC 119).

BACA JUGA :  Operasi Pekat I Mansinam Tahun 2022, Polres Sorong Kota Berhasil Ungkap Kasus

Tujuannya jelas, yakni untuk mempercepat integrasi data layanan kesehatan berbasis digital agar masyarakat dapat mengakses pertolongan medis dengan mudah dan cepat tanpa terhambat urusan administratif.

Di samping itu, Pemda DKI juga terus mendorong transformasi rumah sakit umum daerah (RSUD) agar menjadi tempat pelayanan medis yang lebih responsif terhadap pasien dalam kondisi darurat.

Gubernur Pramono Anung secara tegas menekankan agar setiap nyawa manusia mempunyai nilai kemanusiaan yang sama dan setara, sehingga harus segera ditolong tanpa diskriminasi suku, agama, domisili, ataupun status sosial lainnya.

Dengan rekam jejak tersebut, publik sepatutnya memahami dengan jernih bahwa kasus yang menimpa Repan bukanlah cerminan dari lemahnya kebijakan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono itu sendiri, melainkan lebih tepatnya disebut sebagai bentuk kelalaian moral dari satu institusi medis karena telah gagal menerapkan prinsip dasar pelayanan kesehatan universal.

Pemerintah DKI Jakarta sendiri justru telah membuktikan komitmennya dengan sistem pelayanan yang proaktif, penegakan standar gawat darurat, dan peningkatan anggaran sektor kesehatan.

Kasus Repan tentu saja memberi pelajaran penting bahwa di tengah kemajuan teknologi dan modernisasi sistem, kejernihan hati nurani dan rasa empati tidak boleh hilang dari pelayanan publik. Dan komitmen itulah yang saat ini sedang diperjuangkan Gubernur Pramono Anung di Jakarta.

*Penulis Adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *