Berita  

Jenazah Warga Bima Tertahan 5 Jam di RSUP NTB karena Tak Ada Biaya Pulang

Mataram-NTB, Barometer99.com- Kesedihan mendalam menyelimuti keluarga almarhum Sirajudin, warga Desa Bugis, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, yang meninggal dunia di RSUP NTB pada Sabtu dini hari (25/10/2025) sekitar pukul 03.00 WITA.

Bukannya langsung dibawa pulang ke kampung halaman, jenazah justru tertahan hingga lima jam karena keluarga tidak memiliki biaya untuk memulangkan almarhum ke Bima.

Kondisi memilukan ini kembali menampar nurani publik. Di tengah berbagai program pembangunan megah dan kenaikan tunjangan kinerja anggota DPRD NTB, ternyata masih ada warga miskin yang bahkan kesulitan memulangkan jenazah keluarganya ke tanah kelahiran.

“Keluarga tidak punya uang sama sekali, bahkan untuk sekadar biaya ambulan pun mereka tak sanggup,” ujar seorang relawan yang membantu di lokasi dengan nada lirih.

Menurut informasi yang dihimpun, jenazah almarhum baru bisa dibawa pulang setelah lima jam menunggu ambulan rujukan dari Bima yang akhirnya datang menjemput. Situasi ini bukan pertama kalinya terjadi, bahkan menjadi kisah berulang bagi warga miskin dari daerah-daerah jauh di NTB yang meninggal di rumah sakit provinsi tanpa memiliki biaya kepulangan.

BACA JUGA :  Guna Menciptakan Kamtibmas yang Kondusif, Personel Polres Ogan Ilir Lakukan Patroli Beat

Untungnya berkali-kali Dirut RSUD Provinsi NTB, dr Jack memberikan bantuan pemulangan jenazah dari kantong sendiri dengan nominal jutaan rupiah.

Namun, bantuan itu pun tidak akan mampu jika melihat banyaknya warga yang dirujuk ke RSUP dan berujung meninggal dunia, publik pun mendesak pemerintah agar hal ini bisa diatensi.

“Masalah Klasik yang Tak Pernah Diselesaikan”

Sekretaris Jenderal Enris Foundation, dalam keterangannya menegaskan, pemerintah provinsi harus segera mengambil langkah konkret dengan menganggarkan dana khusus untuk pemulangan jenazah warga miskin.

“Ini bukan sekadar soal belas kasihan. Ini soal kemanusiaan dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Warga sudah kena musibah, jangan lagi ditimpa beban ekonomi,” tegasnya.

Ia menambahkan, peristiwa serupa telah berlangsung bertahun-tahun dan menjadi cermin lemahnya perhatian terhadap kelompok masyarakat paling rentan. “Kesejahteraan bukan hanya soal proyek dan gaji pejabat. Pelayanan dasar kemanusiaan seperti ini juga harus dijamin,” ujarnya.

NTBCare: “Dulu Bisa Bantu, Sekarang Kami Tak Punya Kekuatan”

Nada serupa disampaikan Yuni Bourhany dari NTBCare. Ia mendesak Pemerintah Provinsi NTB untuk segera mengalokasikan anggaran khusus yang dapat digunakan membantu warga miskin dalam proses pemulangan jenazah dari rumah sakit ke daerah asal, terutama dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa.

BACA JUGA :  Pengamat: Sejak Dilantik Jadi Kabareskrim, Komjen Agus Andrianto Sudah Dibidik

“Selama ini NTBCare bersama mitra seperti Gapasdap, Infa, dan ASDP masih berupaya membantu dengan menyediakan penyeberangan gratis melalui Pelabuhan Kayangan–Poto Tano. Tapi itu hanya sebagian kecil dari kebutuhan besar masyarakat,” jelasnya.

Yuni mengaku prihatin karena program sosial kemanusiaan seperti ini kini tak lagi menjadi prioritas setelah NTBCare tidak berada dalam struktur pemerintahan.
“Dulu, di masa Gubernur Bang Zul, NTBCare bisa bantu penuh untuk pemulangan jenazah warga miskin. Sekarang kami tak lagi punya kekuatan seperti dulu,” ujarnya lirih.

“DPRD Harus Malu”

Lebih jauh, Yuni menyoroti sikap para anggota DPRD baik di tingkat kabupaten maupun provinsi yang dinilai abai terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan seperti ini.

BACA JUGA :  Untuk Memaksimalkan Pelaksanaan Tugas Personil, Kapolres Madina Cek Kondisi Kenderaaan Dinas Roda Dua

“Mereka ini wakil rakyat, tapi kok justru tidak memperjuangkan hal mendasar seperti dana pemulangan jenazah? Mereka sibuk membangun kantor baru dan menaikkan insentif, sementara rakyat miskin berjuang sendiri mengantar keluarganya ke liang lahat,” kritiknya tajam.

Menurutnya, para anggota dewan seharusnya bisa mendorong agar dalam APBD 2026, Pemprov NTB mengalokasikan pos anggaran sosial kemanusiaan khusus untuk pemulangan jenazah warga miskin.

Kisah pilu keluarga Sirajudin hanyalah satu dari sekian banyak tragedi kemiskinan yang tak pernah benar-benar diselesaikan. Saat gedung DPRD direncanakan dibangun lebih megah dan tunjangan pejabat terus naik, rakyat kecil justru masih harus menunggu belas kasih untuk sekadar membawa pulang jenazah anggota keluarganya.

“Rakyat tak butuh gedung tinggi, rakyat butuh kepedulian yang nyata,” tutup Yuni Bourhany.

CATATAN REDAKSI :
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal infrastruktur dan angka pertumbuhan ekonomi, melainkan juga tentang seberapa manusiawi kita memperlakukan sesama—terutama mereka yang paling lemah. (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *