Kota Sorong, Papua Barat Daya, Barometer99.com — Di tengah meningkatnya tekanan pembangunan dan investasi terhadap tanah dan laut Raja Ampat, masyarakat adat bersama pemangku kepentingan lain mengambil langkah penting untuk menentukan masa depan wilayah ini. Melalui Dialog Kebudayaan Penguatan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang diselenggarakan oleh Institut USBA (Uru Sefa Batufani) pada Kamis, 2 Oktober 2025, suara-suara leluhur kembali menggema — kali ini dalam bentuk dialog terbuka dan strategis.
Bertempat di Hotel Sahid Mariat, Kota Sorong, kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Suroso, SP, MA, Kepala Dinas Sosial dan ESDM Papua Barat Daya yang hadir mewakili Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, S.Sos. Dalam sambutannya, Suroso menekankan bahwa pemerintah hadir bukan untuk mengatur masyarakat adat, melainkan untuk memfasilitasi partisipasi aktif mereka dalam setiap keputusan strategis yang menyangkut tanah dan laut warisan leluhur.
“Pilihan arah pembangunan ada di tangan masyarakat adat. Mereka yang akan mewarisi tanah dan laut ini di masa depan. Pemerintah hanya menjembatani,” ujar Suroso.
Dialog ini menjadi titik temu penting antara berbagai pihak: masyarakat adat, pemerintah kabupaten dan provinsi, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil. Yang menjadi fokus bukan hanya pelestarian budaya, tetapi juga penyusunan kerangka baru pengelolaan SDA yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Di tengah pertarungan antara model pembangunan ekstraktif dan pendekatan regeneratif, suara masyarakat adat kembali diangkat sebagai penentu arah masa depan Raja Ampat.
Charles Imbir, ketua panitia sekaligus perwakilan Institut USBA, mengangkat persoalan mendasar: marjinalisasi masyarakat adat dalam pembangunan yang seharusnya mereka nikmati.
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi selama masyarakat adat tidak ditempatkan di pusat pengambilan keputusan, maka pembangunan hanya akan jadi alat penghancur. Raja Ampat indah, tapi juga tertekan,” ujar Charles.
Ia juga menyoroti adanya fragmentasi internal yang melemahkan solidaritas masyarakat adat sendiri. Menurutnya, penting untuk kembali merawat musyawarah dan saling menghormati di antara struktur adat sebagai kekuatan politik dan sosial.
Dalam pembukaan acara, terdengar pembacaan kutipan spiritual yang menggugah kesadaran para peserta:
“Di antara desir ombak dan bisikan leluhur, kami mendengar panggilan: jangan biarkan tanah dan lautmu menjadi sunyi. Kami adalah anak-anak USBA, pewaris jejak yang melintasi pulau.”
Kutipan ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan SDA di Raja Ampat tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai adat dan hubungan sakral antara manusia, alam, dan leluhur. Di saat banyak wilayah Papua mulai dibuka untuk pertambangan, perkebunan, dan pariwisata massal, Raja Ampat berada di persimpangan sejarah: mempertahankan identitas dan kelestarian, atau ikut dalam arus eksploitasi yang mengabaikan keberlanjutan.
Suroso, dalam forum, kembali menegaskan bahwa dialog ini bukan seremoni, tapi awal dari transformasi cara pandang dalam pembangunan.
“Kami berharap ada hasil konkret dari forum ini. Tapi dialog hanya berarti kalau didasari rasa memiliki dan keikhlasan. Jangan sampai selesai berdialog, justru makin terpecah,” katanya.
Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya membuka ruang untuk menjadikan hasil dialog ini sebagai rujukan kebijakan daerah — baik dalam bentuk Perda, rekomendasi pembangunan, hingga perlindungan wilayah adat.
Sebagai penggagas, Institut USBA tidak hanya menghadirkan forum, tapi juga membangun cita-cita jangka panjang: membentuk pusat pengetahuan yang berakar pada kearifan lokal. Hal ini diharapkan menjadi dasar untuk menyusun kebijakan publik yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga adil bagi masyarakat adat.
USBA ingin membangun kesadaran kolektif bahwa masyarakat adat bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang punya hak dan otoritas untuk menentukan arah masa depan mereka.
“Sejarah panjang Papua adalah sejarah persatuan dan perlawanan atas ketidakadilan. Hari ini, kita lanjutkan itu dengan cara baru — lewat dialog, pengetahuan, dan solidaritas,” tegas Charles.
Kegiatan ini menandai titik balik penting dalam sejarah pembangunan Raja Ampat. Di tengah derasnya arus investasi dan ketertarikan global terhadap sumber daya wilayah ini, masyarakat adat tidak lagi mau menjadi penonton. Mereka menuntut peran nyata, posisi strategis, dan keterlibatan penuh dalam setiap keputusan yang menyangkut tanah, laut, dan masa depan generasi mereka.
Dengan dialog budaya ini, USBA dan para mitra strategis sedang membangun pondasi baru — sebuah peradaban yang menghormati jejak leluhur, tetapi juga mampu menjawab tantangan masa depan dengan keberanian dan kearifan lokal.
(LK)