Berita  

Membarui Konstitusi Agar Negara Adaptif di Era AI-Post Truth

Barometer99.com – Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI/Ketua MPR RI
ke-15 Ketua DPR RI ke-20 Ketua Komisi ||| DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana (S3) Imu Hukum Universitas Borobudur, Universitas
Jayabaya dan Universitas
Pertahanan (Unhan)

PERUBAHAN zaman dan perkembangan teknologi yang mengubah pola hidup dan perilaku individu mendorong terbentuknya norma dan sistem nilai baru yang tidak pernah diantisipasi. Peradaban sudah melakoni era pasca kebenaran atau post-Truth dan integrasi kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligence) pada berbagai aspek kehidupan manusia. Sudah terbukti pula bahwa fenomena post-truth dan Integrasi AI sering menghadirkan ekses. Maka, demi stabilitas dan terjaganya ketertiban umum, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 bersama semua peraturan perundang-undangan di bawahnya patut diperbarui agar negara-bangsa adaptif dengan perubahan zaman dan perkembangan teknologi itu.

Diakui atau tidak, telah terbentuk fakta bahwa fenomena post-truth sudah menjadi norma baru tak tertulis yang diadopsi banyak komunitas. Fenomena ini mengemuka, ditandai oleh banjir materi informasi yang salah (disinformasi) atau tidak benar (hoax) yang disebarluaskan di ruang publik. Tidak berpijak pada fakta obyektif, pembuat atau perancang disinformasi lebih mengutamakan emosi dan keyakinan personal. Melalui media sosial, disinformasi atau hoax menyebar dengan cepat, dan menyulitkan banyak individu atau komunitas untuk memilah dan membedakan asli-palsu serta benar-salah.

Seorang pemuka agama mendeskripsikan era post-truth sebagai fenomena “yang penting eksis, bukan benar atau salah”. Tentu saja berlawanan dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Sebab. argumentasi tidak lagi dinilai berdasarkan benar atau salah, tetapi berdasarkan kemampuan seseorang mempertahankan eksistensinya. Tak pelak, fenomena post-truth menjadi tantangan besar karena mengikis nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Inilah tantangan bagi konstitusi negara plus semua peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Ekses post-truth itu nyata dan sudah dialami begitu banyak orang, termasuk tentu saja negara dan pemerintah. Post-truth menggerus kepercayaan publik terhadap ragam informasi yang mengemuka di ruang publik. Masyarakat terkotak kotak karena disinformasi sengaja dirancang untuk menyerang atau menista kelompok lain. Jadi, tak kalah seriusnya dari fenomena post-truth adalah potensinya menganggu stabilitas nasional dan ketertiban umum.

Disinformasi pun tak jarang membentuk persepsi ketidakpastian terhadap kebijakan publik yang diberlakukan regulator atau pemerintah. Kebohongan dan informasi yang menyesatkan selalu memengaruhi opini publik. Tak jarang, sebagian masyarakat menjadi skeptis pada pernyataan dari pejabat publik atau lembaga resmi. Baru-baru ini, pernyataan seorang menteri tentang kesejahteraan guru diubah esensi dan nuansanya menjadi merendahkan martabat komunitas pendidik. Sebagian komunitas sempat percaya. Setelah ditelusuri untuk klarifikasi, esensi pernyataan dimaksud tak mengandung tendensi atau niat merendahkan martabat. Ada begitu banyak contoh kasus serupa yang hampir setiap hari dimunculkan di ruang publik melalui media sosial

Dalam konteks demokrasi elektoral, ekses fenomena post-truth pun nyata dan sering masif. Kompetisi di antara para kontestan tak jarang justru menjadi dapur yang memproduksi dan menyemburkan disinformasi atau hoax. Mereka yang memihak atau simpatisan kontestan akan percaya, sementara kelompok pesaing juga akan membalas dengan hoax. Penyebarluasan disinformasi atau hoax yang intensif bisa mengganggu pemilihan umum dengan segala prosesnya. Sebab, gelombang hoax yang intensif bisa menjadi dorongan kuat kepada sebagian publik pemilih untuk ragu-ragu terhadap fakta. Sudah ada catatan historis yang memberi bukti bahwa penyebaran hoaks bernuansa politik berpotensi melemahkan ketahanan nasional.

Selain fenomena post-truth, konstitusi negara serta semua peraturan perundang-undangan di bawahnya juga menghadapi tantangan lain yang yang tak kalah pelik dari aspek kompleksitasnya. Tantangan riel terkini itu adalah semakin masifnya integrasi kecerdasan buatan atau AI pada berbagai aspek kehidupan semua komunitas. Benar bahwa aspek positif AI nyata karena meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta memotivasi lahirnya inovasi baru di berbagai sektor, seperti kendaraan otonom. AI juga membantu tugas sehari-hari, meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas melalui aplikasi pembaca layar, serta menjadi alat bantu belajar bagi siswa.

Namun, pemanfaatan AI yang tak terkendali sudah terbukti melahirkan ragam ekses. Kecenderungan ini dipahami sebagai salah satu tantangan dari integrasi AI dalam kehidupan manusia. Para ahli mengingatkan bahwa otomatisasi berbasis AI dapat menggantikan peran manusia pada sejumlah sektor, seperti manufaktur, layanan pelanggan dan logistik. Karena digantikan oleh penerapan AI, lapangan kerja untuk manusia otomatis berkurang cukup signifikan.

Penerapan AI juga dapat digunakan untuk tujuan menyimpang. Misalnya, membuat akun palsu untuk menyebarluaskan disinformasi atau hoax. Karena itu, selalu dimunculkan seruan agar integrasi AI dalam kehidupan harus dilengkapi dengan pemahaman tentang risiko agar manusia tidak menjadi korban dari perkembangan teknologi itu sendiri. Dari kecenderungan seperti Itu, muncul urgensi tentang keharusan konstitusi negara segera diperbarui agar negara-bangsa adaptif dengan perubahan zaman dan integrasi teknologi dalam kehidupan bersama.

Awal tahun 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan untuk perkara No.166/PUU-XX1/2023 tentang frasa ‘citra diri’ berkait foto atau gambar bagi peserta Pemilu (Pemilihan Umum), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 35 UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu. Sebagai pemilih, pemohon perkara ini merasa dirugikan karena adanya potensi pemalsuan identitas peserta Pemilu dengan penggunaan AI. Dari perkara ini, MK pun mengeluarkan larangan khusus bagi peserta Pemilu menggunakan foto AI saat kampanye.

Contoh kasus dari perkara dimaksud hendaknya dipahami sebagai pengingat bahwa sudah waktunya konstitusi negara bersama semua peraturan perundang-undangan di bawahnya responsif terhadap perubahan zaman dan ragam dampak integrasi teknologi dalam kehidupan manusia. Sebelum terlambat, kini saatnya mengambil inisiatif merumuskan mekanisme pengendalian penggunaan AI. Sudah barang tentu diperlukan undang-undang khusus untuk meregulasi penggunaan AI. Uni Eropa sudah coba melakukan pengendalian itu dengan membuat dan memberlakukan EU AI Act sejak 2024. EU AI Act mengatur tingkatan risiko dari penggunaan AI. Selain itu, agar penggunaan AI tidak menciderai aspek HAM setiap individu, Uni eropa juga merancang sejumlah ketentuan yang protektif.

Dalam konteks panggilan untuk beradaptasi dengan era AI dan era post-truth, menjadi semakin jelas urgensi dan kebutuhan untuk melakukan amandemen kelima terhadap UUD NRI 1945.

Exit mobile version