Jambi, Barometer99.com – Aroma ketidakadilan mengemuka dalam Konferensi Pers Aliansi Petani Jambi Menggugat yang digelar pada Kamis (31/7/2025) di Kantor WALHI Jambi. Acara yang disiarkan secara daring ini menjadi ajang perlawanan terbuka terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dituding lebih berpihak pada korporasi dibanding rakyat kecil.
Dengan mengusung tajuk kritis “Menelisik Perpres No.5 Tahun 2025: Satgas PKH Menertibkan Siapa?”, konferensi ini membeberkan potensi bahaya dari implementasi Perpres tersebut yang dinilai mengancam ruang hidup petani, masyarakat adat, dan komunitas lokal.
Direktur WALHI Jambi, Oscar Anugrah, menyebut Perpres PKH sebagai ancaman nyata terhadap keadilan ekologis. “Negara tidak boleh hanya melihat hutan sebagai komoditas. Di sana ada nyawa rakyat. Kalau penertiban hanya berpihak pada legalitas korporasi, ini sama saja dengan menyingkirkan rakyat dari tanahnya sendiri,” tegas Oscar.
Nada protes juga disuarakan oleh Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang mengingatkan bahwa keberadaan Satgas PKH rawan dijadikan alat represi. “Kami minta transparansi penuh. Jangan jadikan petani dan masyarakat adat sebagai tumbal kebijakan. Ini bahaya laten kriminalisasi,” ujarnya.
Teo Reffelsen, Manajer Hukum WALHI Nasional, dengan keras menyebut Perpres 5/2025 telah menyimpang dari semangat reforma agraria sejati. “Tak ada audit menyeluruh terhadap perizinan korporasi. Tak ada pengakuan hak masyarakat adat. Ini bukan solusi, tapi pemutihan masif bagi perampasan lahan yang telah lama terjadi,” jelas Teo.
Dari sisi akar rumput, suara petani menguatkan kritik terhadap negara. Frandody dari KPA Jambi melontarkan pernyataan tajam: “Petani butuh pupuk, bukan senjata. Kami minta dialog, bukan intimidasi. Kalau Satgas ini berpihak pada korporasi, itu berarti negara melawan rakyatnya sendiri.”
Martamis dari Serikat Tani Tebo menegaskan bahwa kebijakan ini merampas hak dasar petani. “Tanah adalah hidup kami. Jika negara merampas tanah, artinya merampas hidup kami,” katanya dengan nada kecewa.
Sementara itu, Erizal, Ketua Persatuan Petani Jambi, mengkritik pendekatan represif yang digunakan dalam penertiban. “Kenapa rakyat yang ditertibkan? Kenapa korporasi yang merusak justru dibiarkan? Jangan-jangan, negara memang tak lagi berdiri di sisi rakyat,” ucapnya tajam.
Konferensi ini menjadi sinyal perlawanan baru dari barisan rakyat terhadap kebijakan negara yang dinilai melenceng dari prinsip keadilan sosial dan ekologis. Aliansi Petani Jambi Menggugat menegaskan akan terus menggalang kekuatan rakyat, melawan segala bentuk ketimpangan struktural yang dibungkus legalitas.
“Yang selama ini menjaga hutan dianggap penjahat, sementara yang merusak justru difasilitasi. Ini adalah kebijakan yang keliru dan harus dilawan,” tutup Oscar Anugrah.
(Ril/Red)