Mataram-NTB, Barometer99.com- Alih-alih menjadi ajang olahraga rakyat yang inklusif dan transparan, Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (FORNAS) VIII yang digelar di Nusa Tenggara Barat justru memicu gelombang kritik. Pasalnya, peliputan acara pembukaan secara mengejutkan dilarang oleh Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) NTB tanpa alasan resmi, tanpa penjelasan publik.
Larangan ini membuat banyak kalangan mempertanyakan: ada apa di balik seremoni pembukaan yang digelar dengan uang rakyat, tapi tertutup dari pantauan media?
Kebijakan sepihak ini menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan jurnalis lokal. Mereka tidak hanya dihalangi secara fisik dari lokasi acara, tetapi juga merasa didiskriminasi secara sistemik, karena hanya media tertentu yang diberi akses.
“Ini bukan acara pribadi. Ini kegiatan nasional, didanai APBD. Semua media berhak meliput. Publik berhak tahu!” tegas Feryal Mukmin, Ketua Media Independen Online (MIO) Provinsi NTB, dalam pernyataan resmi, Sabtu (26/7/2025).
Menurut Feryal, pelarangan peliputan tanpa dasar hukum yang jelas merupakan bentuk pembungkaman pers dan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta prinsip keterbukaan informasi publik.
Lebih dari sekadar teknis peliputan, isu yang muncul menyentuh akar yang lebih dalam: transparansi penggunaan anggaran publik. Sebab FORNAS VIII didanai dari APBD Provinsi NTB, dan secara hukum, seluruh kegiatan yang menggunakan uang negara wajib terbuka untuk publikasi dan pengawasan.
Ketika akses jurnalis dibatasi, publik otomatis tidak memiliki jendela untuk melihat ke dalam. Situasi ini memperkuat dugaan bahwa mungkin ada pengelolaan anggaran yang tidak siap dikritik.
“Kalau semua berjalan baik dan transparan, kenapa takut diliput? Justru peliputan media adalah bukti bahwa kegiatan ini terbuka dan akuntabel,” ujar salah satu jurnalis yang ditolak masuk dan meminta identitasnya dirahasiakan.
Upaya klarifikasi kepada pihak panitia justru semakin memperkeruh suasana. Saat dikonfirmasi oleh sejumlah wartawan, para panitia saling lempar tanggung jawab. Beberapa menyarankan agar pertanyaan diajukan langsung kepada Ketua Panitia, Nauvar Furqoni Farinduan, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi apa pun yang diberikan.
“Ini bukan hanya soal siapa yang bertanggung jawab, tapi soal keberanian moral untuk bicara kepada publik. Panitia seolah lupa bahwa mereka bekerja atas nama dan uang rakyat,” tambah Feryal MP.
Penting digarisbawahi bahwa kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi. Ketika panitia memilih-milih media mana yang boleh meliput dan mana yang tidak, maka itu bukan hanya bentuk diskriminasi, tetapi juga langkah berbahaya yang mengancam ekosistem informasi sehat di daerah.
“Ini preseden buruk. Jangan sampai daerah meniru pola otoriter dalam mengatur media. Kalau ini dibiarkan, esok hari semua acara publik bisa ditutup hanya untuk media tertentu,” kata seorang pengamat media NTB.
Langkah membatasi peliputan, alih-alih meredam kritik, justru membuka pintu kecurigaan lebih lebar. Masyarakat mulai bertanya: ada apa sebenarnya di balik seremoni pembukaan FORNAS VIII? Apakah ada pemborosan, proyek fiktif, atau pengadaan yang tak transparan?
“Semakin ditutup, semakin curiga publik. Semakin banyak yang ingin tahu ada apa di balik panggung. Ini efek yang justru merugikan panitia sendiri,” ujar aktivis antikorupsi NTB.
Melihat sikap panitia yang tertutup dan arogan, sejumlah awak media tengah menyusun laporan resmi ke Dewan Pers dan Komisi Informasi Provinsi NTB. Langkah ini dinilai penting untuk mengembalikan marwah kebebasan pers dan hak publik atas informasi.
“Kalau tak ada klarifikasi resmi dari panitia, maka jalur hukum akan kami tempuh. Ini bukan soal gengsi media, tapi soal prinsip,” tegas Feryal.
Pertanyaan terbesar yang kini menggema di ruang publik NTB: apa sebenarnya yang ingin disembunyikan oleh panitia?
Dalam negara demokratis, acara publik yang dibiayai uang rakyat tidak boleh gelap, dan pers sebagai wakil publik harus diberikan akses penuh. Pembungkaman bukan hanya melanggar undang-undang, tapi juga mencederai kepercayaan rakyat terhadap pemerintah daerah.
FORNAS VIII seharusnya menjadi momentum perayaan kebugaran dan persatuan masyarakat. Namun insiden pelarangan peliputan media ini justru mengubah wajah acara nasional itu menjadi simbol pembatasan akses informasi dan arogansi pengelola anggaran.
Ketika wartawan dibungkam, informasi dimonopoli, dan transparansi dimatikan, maka festival rakyat berubah menjadi panggung kecurigaan. (Red).