NAMLEA, Barometer99.com – Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea Abdula Fatcey mengkritisi surat Gubernur Maluku tanggal 19 Juni 2025, yang meminta Kepolisian Daerah Maluku melakukan penertiban dan pengosongan aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Gunung Botak.
Kata Abdula, tindakan yang di ambil Gubernur Maluku perlu dikritisi secara mendalam, terutama dalam konteks keadilan sosial, konflik agraria, dan legitimasi kebijakan sumber daya alam.
Pertama, surat ini mengabaikan realitas struktural di lapangan yakni bahwa, ribuan warga Buru selama bertahun-tahun menggantungkan hidupnya dari aktivitas pertambangan rakyat di Gunung Botak.
Yang mana, meskipun tambangnya ilegal secara formal namun telah menjadi sumber ekonomi alternatif di tengah absennya negara dalam menyediakan pekerjaan layak dan infrastruktur penunjang terhdap masyarakat.
Olehnya itu, apbilah penertiban tanpa solusi jangka panjang berpotensi menjadi tindakan represif terhadap warga miskin yang berjuang untuk bertahan hidup di tambang gunung botak.
Kedua, landasan hukum yang dikutip dalam surat ini sangat tidak teknokratis dan terkesan mengesampingkan hak-hak rakyat yakni, merujuk pada Perpres No. 55/2022 serta dua Keputusan Menteri ESDM, tanpa menyertakan pendekatan sosiologis dan yuridis tentang status tanah, hak ulayat, atau konflik agraria yang belum tuntas. Surat ini tidak menyentuh isu status kepemilikan tanah yang masih tarik-menarik, baik antara negara, masyarakat adat, maupun para pemilik hak ulayat di kawasan Gunung Botak.
“Ketiga, tidak adanya transparansi tentang aktor dan kepentingan ekonomi besar di balik “penertiban” menimbulkan kecurigaan publik,”jelas Abdula, Sabtu (21/6/2025).
Apakah ini murni untuk menegakkan hukum atau justru membuka jalan bagi kepentingan investasi korporasi tambang yang ingin menguasai konsesi emas Gunung Botak secara legal? Tanpa partisipasi publik dan perlindungan terhadap masyarakat lokal, kebijakan ini bisa dianggap sebagai bentuk penggusuran legal atas nama penataan tambang.
Di mana, posisi koperasi yang konon menjadi representasi ekonomi rakyat dalam pengelolaan tambang? Jika koperasi justru dikendalikan oleh elit-elit politik dan tidak merepresentasikan warga penambang lokal, maka kebijakan ini hanya akan memperkuat ketimpangan ekonomi dan memperluas ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Sebagai catatan penting, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memang mensyaratkan legalitas dalam kegiatan tambang, namun tidak berarti pemerintah bisa mengabaikan prinsip keadilan ekonomi dan hak atas penghidupan yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 dan 33 UUD 1945.
Penertiban Gunung Botak tidak bisa dipandang semata-mata sebagai penegakan hukum administratif. Tanpa penyelesaian masalah struktural, kejelasan hak tanah, perlindungan penambang rakyat, dan partisipasi publik yang otentik.
Kebijakan Gubernur Maluku ini rawan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal. Pemerintah harus lebih bijak—mengutamakan dialog, skema legalisasi tambang rakyat, dan transformasi ekonomi lokal yang berkeadilan,”pungkas Abdula.
(Ril/Red)