Beri Kuliah Pascasarjana Universitas Pertahanan, Bamsoet Ungkap Politik Uang Masih Menjadi Masalah Besar dalam Pemilu di Indonesia*

Jakarta, Barometer99.com – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan) Bambang Soesatyo mengungkapkan politik uang masih menjadi masalah besar dalam Pemilu di Indonesia. Pemilu yang diharapkan mampu membawa perubahan besar bagi rakyat Indonesia dan menjadi simbol demokrasi, mulai dipertanyakan. Banyak yang mulai meragukan apakah Pemilu cukup efektif untuk mengubah sistem politik yang ada, ataukah Indonesia justru membutuhkan revolusi politik untuk mencapai perubahan yang lebih mendalam.

“Pemilu sering kali dijadikan ajang untuk praktik korupsi, di mana calon-calon legislatif atau eksekutif menggunakan uang untuk membeli suara. Hal ini merusak integritas Pemilu dan membuat proses politik terasa tidak adil, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke uang atau kekuasaan,” ujar Bamsoet saat memberikan kuliah Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan, secara daring, di Jakarta, Kamis (12/6/25).

Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, di sisi lain, partisipasi politik yang inklusif dan fair merupakan pilar utama demokrasi yang sehat dan berkelanjutan. Dalam era di mana politik masih berpotensi didominasi oleh praktik money politics, keterlibatan kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan, seperti perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, serta masyarakat miskin, sangat diperlukan agar partisipasi politik dapat berjalan secara optimal. Tanpa kehadiran mereka, kebijakan yang dihasilkan akan cenderung bias dan tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat yang beragam.

BACA JUGA :  BNSP dan LSP Pers Indonesia Resmi Terbitkan Sertifikat Kompetensi Wartawan

“Masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk membuka ruang politik seluas-luasnya bagi semua warga negara. Pemuda, perempuan, dan kelompok rentan bukan sekadar objek dalam demokrasi elektoral, tetapi subjek yang berhak menentukan arah bangsa. Dengan memperkuat partisipasi mereka, Indonesia bukan hanya membangun demokrasi yang lebih inklusif, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi tantangan zaman,” tegas Bamsoet.

BACA JUGA :  Kunjungan Kenegaraan Presiden Republik Prancis disambut Secara Resmi oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka

Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Jayabaya ini menguraikan, tantangan utama yang menghambat partisipasi inklusif adalah dominasi politik transaksional atau money politics. Fenomena ini telah mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia. Menurut data Indikator Politik Indonesia pada Pemilu 2024, sebanyak 35% responden mengaku menentukan pilihannya karena adanya imbalan uang. Angka ini menandakan pengaruh signifikan politik uang dalam keputusan memilih.

Lebih memprihatinkan lagi, sebagian masyarakat memaklumi praktik ini sebagai bagian dari ‘budaya politik’. Dalam sistem seperti ini, kelompok dengan sumber daya finansial terbatas, yang sering kali adalah perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, serta masyarakat miskin, akan selalu berada dalam posisi subordinat. Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena sistem menuntut biaya tinggi untuk ‘masuk’ ke arena kekuasaan.

BACA JUGA :  Danpuspomad Ikuti Lomba Menembak Piala Danpaspampres 2022

“Persoalan ini harus segera diurai. Di satu sisi, negara ingin membangun demokrasi yang partisipatif dan inklusif, namun di sisi lain membiarkan atau bahkan tanpa sadar melestarikan struktur politik yang menyulitkan kelompok marginal untuk berpartisipasi secara setara. Solusi dari permasalahan ini tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi membutuhkan ekosistem politik yang sehat, komitmen elite, serta penguatan kapasitas masyarakat sipil,” kata Bamsoet.

Ketua Komisi III DPR RI ke-7 dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menjelaskan, peran legislatif dan pemerintah sangat penting mengatasi permasalahan tersebut. Kedua lembaga tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pembuat undang-undang, tetapi juga sebagai fasilitator partisipasi publik yang adil dan bermakna.

Pemerintah dan legislatif harus mampu membangun mekanisme partisi

Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *