Barometer99.com – Tangerang Selatan – Di balik deretan rumah dan bangunan baru di Pamulang, tersembunyi kisah menyedihkan seorang warga yang berjuang mempertahankan hak tanah dan martabat keluarganya. Namanya Hamjari Soebari. Selama 2,5 tahun, ia berupaya melawan apa yang diduga sebagai praktik mafia tanah—bermodal bukti forensik, laporan resmi, dan harapan akan keadilan.
Perjuangan Hamjari ternyata bukan hanya soal sertifikat tanah yang tiba-tiba berubah nama. Ia juga mengaku menjadi korban penipuan oleh anak dari terlapor utama kasusnya. Dengan dua kasus yang berbeda dan dua jalur laporan hukum, keduanya hingga kini mandek. “Saya sudah lelah, tapi belum akan berhenti. Ini bukan cuma soal tanah. Ini soal harga diri dan hukum,” ujar Hamjari kepada wartawan.
Awal Mula yang Memperkeruh Kasus
Kasus ini bermula dari sebidang tanah seluas 1.772 meter persegi milik istri Hamjari, Yanti Adefianti, di Benda Barat 8, Pamulang. Tanah tersebut rencananya akan dikembangkan bersama seorang pengusaha bernama Afung. Namun, di tengah jalan, muncul nama (N) yang mengaku siap melanjutkan proyek tersebut.
Beberapa bulan kemudian, tanpa proses jual beli atau persetujuan resmi, muncul Sertifikat Hak Milik No. 15862 atas nama (N). Saat diperiksa ke BPN, sertifikat itu terbit berdasarkan akta jual beli yang diduga palsu. Yang semakin janggal, dokumen asli Akta Jual Beli masih dipegang oleh Afung—bukti bahwa tidak pernah ada penyerahan resmi dari pihak Yanti kepada siapa pun.
Lebih mencengangkan lagi, hasil uji forensik dari Puslabfor Polri (Agustus 2024) menyatakan bahwa tanda tangan Yanti dalam dokumen itu adalah NON IDENTIK alias palsu. Namun hingga April 2025, status (N) masih sekadar sebagai saksi.
Dugaan Penipuan yang Menghimpit Hamjari
Tak hanya soal tanah, Hamjari juga mengaku telah ditipu oleh (AS), yang disebut sebagai anak kandung (N). “Kalau benar dia anaknya, ya makin terang hubungan satu keluarga ini dalam kasus yang saya alami,” ujar Hamjari.
Berikut adalah kronologi dugaan penipuan oleh (AS), berdasarkan pengakuan Hamjari:
– 28 Desember 2018: Andri meminjam uang Rp 50 juta dengan alasan hutang pribadi.
– 4 November 2019: Ada dua transaksi kepada Kiki Andrian (kakak Andri) sebesar Rp 15 juta dan 25 juta.
– 6 dan 7 November 2019: Andri kembali meminta uang sebesar Rp 5 juta dan Rp 25 juta.
– 1 Oktober 2020: Transaksi Rp 40 juta untuk penitipan mobil Toyota Rush atas nama Fathiah.
Dari semua transaksi tersebut, total kerugian mencapai Rp 235 juta,. Laporan resmi atas kasus ini sudah diajukan sejak 2021, namun hingga kini belum ada kabar. “Saya buat LP soal (AS) sejak 2021. Sudah jalan 8 bulan, lalu hilang begitu saja. Tidak ada perkembangan,” ungkap Hamjari.
Harapan untuk Keberanian Aparat
Merasa tak mendapatkan kejelasan, Hamjari mengirimkan surat terbuka yang juga ia tembuskan kepada Kapolda Metro Jaya, Dirreskrimum, dan Kabag Wassidik. Ia berharap ada tangan-tangan yang lebih bersih dan berani untuk mengungkap tuntas kasus yang bukan hanya soal mafia tanah, tetapi juga dugaan penipuan keluarga yang saling berkait.
“Jangan sampai hukum dipermainkan oleh mereka yang punya koneksi. Kalau rakyat biasa seperti saya saja tidak didengar, bagaimana nasib yang lain?” ucap masyarakat Pamulang.
Penegakan Hukum yang Memalukan
Setelah 2,5 tahun berlalu sejak Hamjari melaporkan dugaan pemalsuan dokumen atas tanah milik istrinya, tidak ada satu pun tersangka yang ditetapkan. Ini bukan hanya potret buruk penegakan hukum—ini adalah alarm keras bahwa praktik mafia tanah bisa berjalan nyaman di tengah sistem yang seharusnya memberi perlindungan.
Kasus Hamjari hanyalah satu dari banyak cerita serupa yang dialami warga Indonesia. Mafia tanah bekerja dalam senyap, dan yang menjadi korban adalah rakyat biasa. Saatnya Kapolda dan Kapolri turun tangan untuk menangani kasus ini yang telah dilaporkan ke berbagai tingkatan: dari Polres hingga Polda dan BPN.
(Red)