Berita  

Bahaya Resistensi Antimikroba, BBPOM Mataram Lakukan Pengawasan Dan Edukasi Masyarakat

Barometer99, Mataram-NTB- Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Mataram mengadakan acara ngobrol santai bersama awak media bertempat di Aula BBPOM Mataram.

Kepala BBPOM Mataram Yosef Dwi Irawan mengatakan, di indonesia pada tahun 2019, kasus Anti Microbial Resistance (AMR) mencapai angka 1,27 juta.

Bahaya Anti Microbial Resistance (AMR) atau Resistensi Antimikroba merupakan kejadian ketika bakteri, virus, jamur dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon terhadap obat-obatan.

BBPOM Mataram mengajak masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap resistensi antimikroba (AMR).

Kendati hal tersebut, menurut Yosef, dapat membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, sehingga memperparah dan menyebabkan kematian pada penderitanya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan BBPOM Mataram, dari 15 sarana apotek yang diperiksa terdapat 14 apotek yang menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter.

“Ada 5 antibiotik yang dijual bebas tebanyak yakni, Amoxicillin, Cefadroxil, Ciprofloxacin,Cefixcim dan Cotrimoxazole”, tuturnya dihadapan awak media, Rabu, 3/7/24.

Kegiatan jual beli di apotek akan dihentikan, apabila diketahui dalam jumlah besar membebaskan penjualan antibiotik tanpa resep dokter. Dan diberikan sanksi berupa penghentian sementara.

BBPOM Mataram telah melaksanakan berbagai upaya untuk menangani AMR di NTB, termasuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan pencegahan AMR melalui berbagai kegiatan sosialisasi seperti memperketat pengawasan terhadap distribusi dan penggunaan antibiotik di wilayah NTB

“BBPOM Mataram sendiri, secara masif melakukan pengelolaan pengawasan pelayanan kefarmasian, bimbingan teknis advokasi lintas sektor, joint inspection serta pengedukasian terhadap masyarakat,” katanya.

Pengendalian AMR dapat lebih digencarkan dengan melakukan kerjasama lintas sektoral.

“Kejadian AMR menjadi salah satu isu kesehatan global yang menjadi concern banyak pihak terutama WHO”, ujarnya.

Dikatakannya juga bahwa data penelitian terbaru yang diterbitkan jurnal The Lancet di tahun 2022, menyebutkan bahwa pada tahun 2019 AMR menyebabkan kematian pada 4,95 juta jiwa, dengan 1,27 juta diantaranya disebabkan langsung oleh AMR.

“Kematian akibat AMR bahkan lebih tinggi dari kematian akibat HIV/AIDS dan Malaria”, Pungkasnya.

Sedangkan di tahun 2050 mendatang, menurutnya, WHO memprediksi jumlah kematian tersebut naik hingga menjadi 10 juta jiwa per tahun.

“Boleh dikatakan AMR merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan dan risiko keamanan kesehatan global saat in silent pandemic yang dapat membunuh dalam keheningan”, imbuhnya. (Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *