Opini: Hitung Mundur Pengesahan Draft Rancangan KUHP

Hitung Mundur Pengesahan Draft Rancangan KUHP

Oleh : Fajar Zukhruf R (Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Inovasi Universitas Teknologi Sumbawa)

Sumbawa, Barometer99.com – Draft Rancangan KUHP yang sempat menjadi polemik dan pembahasan di masyarakat Indonesia pada Tahun 2019 kembali menjadi sorotan dikarenakan pemerintah mengklaim RKUHP akan disahkan pada bulan Juli 2022. Kendati demikian, draft hingga saat ini tidak kunjung dibuka ke publik. Publik pun bertanya-tanya akan transparansi DPR RI dan Pemerintah dalam proses pembuatan draft RKUHP tersebut.

Draft RKUHP yang tidak dibuka ke publik mengakibatkan timbulnya asumsi bahwa ada poin yang ingin disembunyikan yang menjadikan RKUHP terkesan ‘Misterius’ bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini sejalan dengan gerakan yang dilakukan oleh BEM Se-UI yang menggaungkan agar DPR RI dan Pemerintah membuka Draft RKUHP ke publik agar masyarakat mengetahui dan setidaknya ikut mengawal proses perancangan KUHP.
BEM Se-UI menyoroti soal 24 poin krusial dalam Invenatrisasi Masalah RKUHP versi September 2019 yang diajukan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Namun kini Pemerintah dan DPR RI hanya menginformasikan matriks berisi 14 isu krusia RKUHP. BEM Se-UI juga mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk meninjau kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP sebelum pengesahan dilakukan.

Keterbukaan membuka draft RUU adalah amanat UU. Hal ini tertulis dalam pasal 5 UU Nomor 12/2011 yang menyaratkan pembuatan UU harus berdasarkan asas keterbukaan. Asas keterbukaan disini bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, masyarakat memiliki kesempatan yang luas untuk berpendapat dan ikut memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Asas keterbukaan kemudian dipertegas Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bila keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945. Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan lebih bermakna itu seperti:
Hak untuk didengarkan pendapatnya;
Hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; Hak untuk mendapat kejelasan atau jawaban atas pendapat yang telah dipaparkan.

BACA JUGA :  Dandim Merauke Hadiri Perayaan Ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani

Pemaparan di atas membawa kita pada pembahasan apa sih ‘misteri’ yang terdapat pada RKUHP yang menimbulkan kecurigaan akan poin dari draft yang berpotensi menimbulkan penolakan publik terhadap draft RKUHP. Salah satu misteri draft RUU itu diantaranya Pasal 353 ayat 1.

Adapun bunyi draft Rancangan KUHP:
Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II
Dalam penjelasan disebutkan:
Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Polisi, Jaksa, Gubernur, atau Bupati/walikota.

Menyoroti salah satu bunyi draft Rancangan KUHP tersebut penulis berpendapat bahwa draft tersebut berpotensi menjadi polemik akan penerapannya seperti yang pernah terjadi pada UU ITE di awal pasca pengesahan.

Bagaimana tidak menjadi polemik, kata ‘menghina’ pada pasal 353 ayat 1 di draft RKUHP dapat dimaknai bebas dan tak terhingga oleh pihak yang ingin menggunakan atau memanfaatkan peraturan ini untuk menuntut pihak-pihak tertentu.

Belajar dari UU ITE, pada awal pasca pengesahan terdapat miss informasi pada masyarakat seperti pihak pelapor yang melaporkan adanya pelanggaran UU ITE tidak bisa dilakukan sembarang orang, hanya orang yang bersangkutan yang disinggung dalam suatu cuitan dalam media sosial yang boleh membuat laporan apa bila nama yang bersangkutan secara jelas dan terang-terangan ditulis dalam postingan tersebut.

BACA JUGA :  Ketua MPR RI Bamsoet Ajak Jaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa Ditengah Beragam Keberagaman

Kata ‘menyinggung’ pada UU ITE sama halnya dengan kata ‘menghina’ pada draft Rancangan KUHP yang sangat luas makna yang tidak bisa diukur kadar “wajar” dan “tidak wajar”nya. Ini artinya ada darurat literasi bahkan pada RKUHP.

Mungkin darurat terdengar sedikit berlebihan tapi apabila dilihat konteks pada sebuah undang-undang ini adalah sesuatu yang serius. Jangan sampai terulang kembali penggunaan makna luas terjadi lagi pada UU.

Kata ‘menghina’ pada draft Rancangan KUHP perlu lebih diperjelas bila perlu dijelaskan juga parameter batas suatu kata atau kalimat dapat dikatakan ‘menghina’ instansi yang disebutkan sebelumnya. Karena lagi-lagi kata ‘menghina’ sangatlah subyektif, masing-masing orang bisa berbeda dalam mendefinisikan kata ‘menghina’. Sebagai contoh kata ‘cantik’ sangat substansial dan relatif, masing-masing orang mendefinisikan cantik secara berbeda. Ada yang menilai bahwa ‘cantik’ dilihat dari fisik dan ada pula dari sifat. Fisikpun sangat banyak perbedaannya seperti halnya tinggi badan, warna kulit, warna rambut, bentuk wajah, dan lain sebagainya.

Penulis setuju dan bisa mengerti mengapa Draft tentang penghinaan DPR, DPRD, Polisi, Jaksa, Gubernur, dan Bupati/walikota ini di rancang karena sudah jelas tujuannya agar lembaga negara dan kekuasaan umum lebih dihormati. Namun pentingnya menjelaskan parameter kata ‘menghina’ juga tidak kalah penting. Jangan sampai lembaga negara dan kekuasaan umum menjadi terkesan anti kritik karena apabila ada pihak atau masyarakat yang mengkritik maka akan menggunakan UU ini untuk menuntut pihak yang mengkritik dengan dalih telah ‘menghina’ lembaga negara atau kekuasaan umum tersebut.
Pada draft RKUHP juga perlu dijelaskan siapa pihak yang berhak menuntut atau membuat laporan terhadap dugaan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara. Jangan sampai masyarakat diluar lembaga negara atau kekuasaan umum memiliki hak untuk menuntut pihak yang mengkritik. Perlu dijelaskan juga apakah kalimat penghinaan secara konseptual atau tekstual yang dapat dijadikan bahan tuntutan. Apakah kalimat itu hanya berupa kata-kata lisan, kata-kata postingan sosial media, atau gambarpun bisa dijadikan alat untuk dasar menuntut pihak pengkritik.

BACA JUGA :  Satgas Yonkav 12/BC Amankan PMI Non Prosedural di Jalur Tidak Resmi Perbatasan RI-Mly

Kesimpulan yang ingin penulis sampaikan adalah perlunya penjelasan atau bila perlu membuat parameter untuk menentukan suatu kalimat tersebut bisa dikatakan penghinaan atau tidak. Tentu ini bukan hal yang mudah karena kata ‘menghina’ dapat dimaknai berbeda tiap individu. Namun secara garis besar parameter yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

Siapa pihak yang berhak melapor atas dugaan penghinaan lembaga negara atau kekuasaan umum, Apa saja bentuk hinaan yang dapat dijadikan bahan tuntutan, seperti halnya kalimat, foto, gambar, poster, tulisan di media online; Bagaimana standar kalimat ‘hinaan’ yang sangat subyektif dan bersifat relatif akan menjadi dasar UU.

Demikian opini penulis terkait berita akan disahkannya Draft Rancangan KUHP. Tentunya masih banyak draft lain yang ada pada Rancangan KUHP yang belum diungkapkan hingga sekarang, namun harapannya DPR RI dan Pemerintah Indonesia bisa membuka draft tersebut ke publik agar terwujud transparansi dan keterbukaan pada masyarakat. Penulis berharap dengan disahkannya Rancangan KUHP nanti bisa membawa kesejahteraan, ketentraman, keamanan, dan keadilan bagi masyarakat Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *