Makassar, Barometer99.com – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengingatkan pentingnya kemampuan “membaca tanda” untuk menghadapi gelombang besar perubahan zaman. Pesan ini disampaikannya saat menjadi keynote speaker pada Pertemuan dan Konsolidasi Regional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) se-Sulawesi, di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Jumat (10/10/2025).
Bima bercerita tentang nasihat para guru dan senior KAHMI yang juga kerap ia dengar dari cendekiawan Nurcholish Madjid dan Amien Rais, yakni pentingnya membaca tanda-tanda zaman. Menurutnya, siapa pun yang mampu membaca tanda-tanda zaman dengan baik akan menjadi pemenang.
“Cak Nur sering sekali bilang seperti itu, Pak Amien sering sekali bilang seperti itu. Walaupun sejarah mencatat tidak semua menjadi pemenang di ujung dari zamannya, tetapi nasihat untuk membaca tanda-tanda zaman itu selalu saya pegang teguh,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Bima juga menyinggung buku berjudul The Great Wave: The Era of Radical Disruption and the Rise of the Outsider, karya Michiko Kakutani. Ia memberi perhatian khusus pada sampul buku tersebut yang menggambarkan karya seni Jepang abad ke-19 yang dikenal dengan The Great Wave off Kanagawa. Di dalamnya terlihat perahu nelayan kecil yang diterjang gelombang raksasa, dengan Gunung Fuji tampak kecil dan tenang di kejauhan. Menurutnya, gambar ini melambangkan perpaduan antara tantangan, keganasan, dan ketenangan.
“Ada yang menafsirkan ini sebagai Yin and Yang. Ada yang menafsirkan ini sebagai satu skill untuk selalu waspada dalam era perubahan. Kakutani dalam buku ini, seorang jurnalis pemenang Pulitzer, mengatakan bahwa hari ini dunia tengah berada di era disrupsi radikal, dan kebangkitan outsider. Radical disruption and the rise of outsider,” ungkapnya.
Bima menegaskan, masyarakat Indonesia tidak boleh terpesona dengan hal-hal yang mapan atau sudah established. Sebab, justru sering kali disrupsi muncul dari arah yang tak terduga. Ia mencontohkan kemunculan tokoh-tokoh seperti Donald Trump di Amerika Serikat dan Volodymyr Zelenskyy di Ukraina, dua figur yang tidak berasal dari sistem politik konvensional, namun berhasil menjadi pemimpin negara.
Fenomena serupa, lanjutnya, juga terjadi di dunia hiburan. Industri film, musik, dan budaya kini tidak lagi didominasi Hollywood atau Barat. Film-film dari Korea, Cina, India, Asia Timur, bahkan Afrika, mulai menyaingi dominasi tersebut. Begitu pula dengan musik, di mana artis-artis papan atas kini banyak berasal dari Korea Selatan, India, hingga Kolombia.
“Marilah kita telaah The Great Wave ini sebagai bahan bagi kita untuk merefleksi perjalanan bangsa ini ke depan dalam membaca tanda-tanda zaman. Dalam konteks global Bapak-Ibu sekalian, kondisi sudah jauh berubah dibanding ketika saya SMA ataupun kuliah. Bergeserlah episentrum dunia ke Asia hari ini,” terangnya.
Bima juga mengingatkan bahwa Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations telah lebih dulu menekankan pentingnya membaca tanda-tanda zaman, terlebih di tengah kondisi pergeseran tatanan dunia dari unipolar menuju multipolar. Dalam konteks tersebut, ia mengajak peserta untuk merenungkan arah dan strategi bangsa ke depan. Ia mencontohkan keberhasilan Cina yang dalam 40 tahun mampu mengangkat 800 juta penduduk dari kemiskinan melalui kombinasi antara inovasi dan pemerintahan yang efektif.
“Pemerintahan sangat efektif dan inovasi berjalan tanpa henti, atau dalam tagline yang mereka sering sampaikan, innovation with China’s characteristics. Inovasi berjalan, tapi karakter kultur Cinanya tetap menonjol,” imbuhnya.
Terakhir, Bima mengajak seluruh peserta untuk berperan aktif dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi masa depan Indonesia yang lebih maju. Ia menekankan pentingnya melahirkan tokoh-tokoh transformatif yang memimpin dengan nilai, bukan kepentingan.
“Negara ini harus dibimbing dan selalu dijaga oleh tokoh-tokoh transformatif. Memimpin dengan nilai dan bukan dengan kepentingan. Mari kita ajak adik-adik kita untuk menjadi sosok-sosok transformatif, berjuang karena nilai, bukan berjuang untuk bertemu kepentingan,” tandasnya.
Puspen Kemendagri