Sumbawa-NTB, Barometer99.com-Pengakuan mengejutkan datang dari M. Dahlan, salah satu petani pemilik rumah sawah yang berada di lahan pembangunan Batalyon TNI AD di Desa Kerekeh, Kecamatan Unter Iwes, Kabupaten Sumbawa.
Dalam video terbaru yang beredar, Dahlan secara terbuka mengaku bahwa ia tidak mengetahui rumahnya telah dibongkar, terutama bagian emperan dan atapnya.
“Saya datang ke sana, atap dan empernya sudah tidak ada. Tinggal sisa-sisa saja yang saya bongkar sendiri,” ungkap Dahlan dalam video tersebut dengan suara lirih.
Ia mengaku bingung dan kecewa, karena sebelumnya tidak diberitahu soal pembongkaran tersebut.
Pernyataan ini berbanding terbalik dengan klarifikasi sebelumnya yang disampaikan oleh pihak Kepala Desa setempat yang juga disampaikan ke Kodim 1607/Sumbawa.
Dalam laporan resmi pada 27 Juni 2025, Kades menyatakan bahwa pembongkaran rumah Dahlan dilakukan secara sukarela dengan bantuan pekerja dan pengawasan TNI. Bahkan disebutkan bahwa Dahlan telah menerima kompensasi untuk pengangkutan rumahnya.
Namun faktanya, kuasa hukum kelompok petani, Imam Wahyudin, menyebut bahwa tidak ada kompensasi layak dan tidak ada pemberitahuan resmi kepada ih Dahlan terkait pembongkaran.
“Dahlan sekarang meminta bantuan kepada kelompok tani untuk memperjuangkan haknya. Ini bukti bahwa pembongkaran tidak sesuai prosedur dan jauh dari prinsip keadilan,” jelas Imam kepada media, Sabtu (28/6/2025).
Kelompok petani yang tergabung dalam Organisasi Petani Tanjung Unggul Sejahtera juga membantah narasi yang menyebut mereka menyebar opini sesat.
Mereka bahkan telah menempuh jalur hukum dengan menggugat Pemda Sumbawa secara class action atas lahan seluas 130 hektare yang kini dikuasai untuk pembangunan Batalyon. Sidang perdana dijadwalkan berlangsung pada 8 Juli 2025.
“Lahan itu sudah digarap selama lebih dari 20 tahun. Bahkan sebelum statusnya turun dari kawasan hutan, masyarakat sudah tinggal dan bertani di situ,” tegas Imam.
Kelompok petani pun mengkritik keras sikap Pemda yang justru mengklaim kepemilikan lahan setelah turun statusnya.
“Penurunan status dari kawasan hutan menjadi APL bukan berarti lahan otomatis menjadi milik Pemda. Harus tetap ada ganti rugi jika masyarakat sudah menggarap lebih dulu,” tegas Imam.
Warga dan petani mengaku kecewa karena pemerintah desa setempat pun tidak menunjukkan keberpihakan yang jelas.
Mereka merasa ditinggalkan dan tidak mendapatkan keadilan atas penggusuran yang terjadi.
Bahkan, beberapa petani telah jauh-jauh datang ke Jakarta untuk mengadukan kasus ini ke Kementerian Pertanian dan lembaga terkait lainnya.
Sementara itu, narasi bahwa video viral pembongkaran rumah dibuat untuk memprovokasi, seperti yang disebutkan oleh pihak Kodim, dianggap sebagai bentuk pengalihan isu.
Video tersebut justru menjadi bukti kuat bahwa ada ketimpangan komunikasi dan proses yang tidak transparan.
“Para petani diam bukan karena setuju, tapi mereka takut. Buktinya ratusan petani mengadukan masalah ini. Bagaimana masa depan anak-anak mereka nanti,” ujar Imam.
Imam juga menegaskan, seharusnya pemerintah memberikan tempat para petani untuk digarap sebagai mata pencahariannya. Kalau lahan tersebut diambil maka harus ada ganti rugi atau lahan baru yang bisa digarap para petani.
Bahkan jika pemda mengklaim ada tukar guling lahan, maka pemda harus menunjukan tukar guling dengan lahan yang mana sehingga bisa mengklaim lahan di Kareke.
Kasus ini kini menjadi sorotan luas, tidak hanya di Sumbawa, tetapi juga di tingkat nasional. Publik menunggu bagaimana jalannya sidang dan apakah keadilan akan berpihak kepada rakyat kecil yang telah lama bertani di lahan tersebut. (S/Feryal).