Palembang, 23 Juni 2025 Barometer99.com – Manusia adalah makhluk paling mulia yang diciptakan Tuhan. Dalam kesempurnaan bentuk dan akalnya, tak satu pun ciptaan lain yang mampu menandinginya. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah menantang manusia untuk menciptakan seekor lalat—makhluk kecil yang tampak remeh. Namun hingga kini, dan sampai kapan pun, tantangan itu tetap tak tergoyahkan. Menciptakan kehidupan, walau hanya seekor lalat, tetap berada di luar jangkauan kemampuan manusia.
Zaman terus berlari. Era digital kini melesat cepat, melahirkan kecerdasan buatan (AI) yang mampu menembus batas imajinasi. Dunia maya menyulap khayalan menjadi seolah nyata. Kita menyaksikan video yang menggambarkan seseorang tumbuh dari bayi hingga renta dalam hitungan detik—cermin dari kecanggihan teknologi. Namun, dalam segala kecanggihan itu, tersembunyi celah yang bisa menjadi bumerang. Data pribadi tak lagi sekadar milik pribadi. Ia bisa dicuri, disalahgunakan, bahkan menjadi alat untuk merugikan secara finansial maupun spiritual.
Namun sesungguhnya, cetak biru dari semua perkembangan ini telah lebih dahulu tertulis dalam Al-Qur’an. Firman Tuhan bukan hanya berisi nasihat moral, tapi juga petunjuk kehidupan semesta. Segala yang ada di langit dan bumi dijelaskan dengan cermat, termasuk isyarat-isyarat teknologi dan peradaban masa depan. Rasulullah pernah menyampaikan bahwa kelak Nabi Isa ‘Alaihissalam akan turun ke bumi. Mungkin dahulu, umat bertanya: bagaimana seluruh manusia bisa menyaksikan satu peristiwa secara serentak? Apakah mereka membayangkan kamera, Android, iOS, atau siaran langsung? Tentu tidak. Namun hari ini, kita semua tahu: apa pun yang terjadi di belahan dunia mana pun, bisa kita saksikan secara langsung, seakan tanpa jarak dan waktu.
Sayangnya, di tengah derasnya arus informasi, dunia menjadi terlalu berisik. Manusia kini hanya melihat dengan mata lahir, mendengar dengan telinga jasmani, tanpa menyentuh makna sejati. Padahal, wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah adalah “Iqra”—bacalah. Rasul yang buta huruf itu, diberi perintah bukan untuk membaca teks semata, melainkan untuk memahami dengan hati, membaca tanda-tanda semesta, dan menangkap pesan-pesan Ilahi.
Manusia sejatinya tak hanya melihat dengan mata, sebab yang tampak belum tentu nyata. Seperti fatamorgana—apakah itu air atau hanya bayang semu? Begitu pula telinga—sering kali hanya menjadi saluran nafsu, bukan alat untuk memahami kebenaran. Cobalah bandingkan suara klakson di siang hari dan malam hari. Volume yang sama, namun maknanya berbeda. Siang hari diliputi kebisingan, membuat suara itu tenggelam. Malam hari menyuguhkan keheningan, menjadikan suara itu terasa lebih dalam, lebih menusuk.
Inilah saatnya kita kembali ke jati diri manusia. Bukan sekadar makhluk yang bisa melihat, mendengar, atau berbicara, tetapi makhluk yang mampu merenung, memahami, dan merasa. Di tengah derasnya gelombang digital dan visual, kita dituntut untuk bijak menyaring informasi—bukan hanya dengan pancaindra, tapi dengan nurani.
Agar kehidupan ini tak sekadar ramai dan gaduh, tetapi penuh makna. *(Or.frdyn//Red)