Barometer99– JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan bangsa Indonesia patut bangga karena merujuk pada hasill Jajak Pendapat KOMPAS pada bulan November 2022, bahwa mayoritas responden atau sekitar 72,6 persen berpandangan bahwa masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai toleransi. Bahkan 10,4 persen diantaranya menyatakan masyarakat kita “sangat toleran”.
Namun di sisi lain, hasil jajak pendapat tersebut juga mengisyaratkan bahwa khusus mengenai isu toleransi beragama, sekitar 47,6 persen responden mengungkapkan masih perlunya penguatan sikap tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan beragama.
“Persepsi senada juga tercermin dari temuan SETARA INSTITUT yang mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2022, masih dijumpai beberapa kasus yang mencederai kehidupan beragama kita. Setidaknya tercatat ada 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan 50 gangguan yang dilakukan terhadap tempat ibadah,” ujar Bamsoet saat mengisi Sekolah Toleransi, kerjasama Himpunan Mahasiswa Program Studi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah dengan BEM Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Bali, secara virtual dari Jakarta, Rabu (22/2/23).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, gambaran di atas menunjukkan bahwa nilai toleransi, khususnya toleransi dalam kehidupan beragama, belum sepenuhnya mencerminkan gambaran ideal sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Antara lain pada pasal 28 E ayat 1 bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Pasal 28 I ayat 1 bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Serta pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
“Dalam konteks kehidupan beragama, belum optimalnya implementasi nilai-nilai toleransi mengisyaratkan perlunya kita bermawas diri, serta mengubah paradigma dalam memaknai toleransi. Toleransi dalam kehidupan beragama tidak boleh hanya bersifat retorika yang hanya terlihat baik-baik saja di permukaan, namun rapuh dalam landasan fundamentalnya,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menerangkan, dalam konteks kehidupan berdemokrasi, sikap toleransi pada ranah politik pun masih menyisakan beragam persoalan yang cukup menyita perhatian publik. Hal ini tercermin dari hasil Survei Litbang KOMPAS, yang mengindikasikan bahwa sekitar 77,8 persen responden merasa pesimis dan khawatir tergerusnya nilai-nilai toleransi pada Pemilu 2024.
“Potensi intoleransi ini ditengarai dipicu oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya kedewasaan politik masyarakat, kurangnya keteladanan tokoh politik dalam kontestasi politik secara sehat, penggunaan politik identitas, imbas atau residu dari Pemilu 2019 yang belum sepenuhnya tuntas, dan maraknya buzzer politik. Semua faktor tersebut dikhawatirkan menjadi pemicu terpinggirkannya sikap toleran dalam kontestasi politik, dan turut memanaskan suhu politik,” pungkas Bamsoet. (*)