Menjaga Marwah Gelar Doktor

Oleh: Nurfisi Arriyani, S.Pd., M.Pd

(Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Semarang, Dosen FKIP Universitas Tamansiswa Palembang)

 

Barometer99 | Gelar memang sangat menggiurkan. Karena itu ia banyak diburu. Diakui atau tidak, kepemilikan gelar akademik makin lama makin menjadi suatu kebutuhan. Tidak saja untuk peningkatan karir, tapi juga (tidak sedikit) karena gengsi. Gengsi lewat sebuah gelar akademik yang tumbuh subur dalam budaya masyarakat Indonesia yang senang simbol-simbol, termasuk simbol titel –seperti disebut Edward T. Hall dalam buku yang berjudul “Beyond Culture” (1976)- merupakan bentuk dialog dalam budaya lingkungan tinggi, yakni budaya lebih mengutamakan simbol-simbol.

Buktinya, saat ini walaupun perekonomian bangsa kita sedang sulit,  peminat titel tetap marak karena bisa menunjang eksistensi dalam masyarakat. Bukan ilmu dan kemampuan akademik yang dikejar oleh (mayoritas) mereka, melainkan gelar Doktor, MM, M.Kes, MPd, dan MSi. Peluang ini dimanfaatkan betul oleh pengelola perguruan tinggi. Tak pelak kemudian muncul program pascasarjana Magister dan Doktor baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Menjamurnya program pascasarjana memunculkan kompetisi yang tidak sehat antar mereka. Untuk menarik para calon mahasiswa, mereka berlomba memberi kemudahan kepada para mahasiswa tetapi dengan cara yang melanggar etika akademik. Banyak Magister dan Doktor lulus dengan cara bimsalabim. Kejadian yang pernah terjadi di sebuah PTN di Jakarta telah membuka pikiran kita bahwa ada sesuatu yang patut dipertanyakan dalam tata kelola pendidikan pascasarjana kita.

Maraknya fenomena jual beli gelar ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak karena masalah yang amat prinsip. Seharusnya gelar akademik hanya dapat diperoleh seseorang lewat proses panjang dan tidak mudah. Sehingga perolehan gelar akademik yang tak wajar, bukan saja dapat merusak mentalitas intelektual dan mengajari orang untuk tidak menghargai prestasi akademik, tapi juga merupakan proses pembodohan secara sistematis, karena cenderung mengajarkan orang melakukan kecurangan yang pada dasarnya membohongi diri sendiri.

Gejala jual beli gelar akademik ini, mau tidak mau, mengingatkan kita pada gugatan yang pernah diajukan Ivan Ilich tentang eksistensi dunia pendidikan formal yang sering kita sebut sekolah. Di dalam bukunya “Deschoolling Society”, Ilich mengatakan dalam praktiknya sekolah-sekolah telah membangung kasta sosial karena ijazah dari sekolah-sekolah formal telah menjadi tiket menentukan status sosial seseorang di dalam masyarakat.

Seseorang, betapapun pandainya, jika tidak memiliki ijazah sekolah akan sulit meraih status sosial. Sebaliknya seseorang yang tidak pandai dapat melaju dengan mulus didalam tangga sosial karena memiliki ijazah formal. Itulah sebabnya Ilich mengusulkan penghapusan sekolah formal dari tengah-tengah masyarakat karena ijazah sekolah telah menjadi alat manipulasi (Zaini Dahlan, 2000).

Sebagian besar dari kita tentu tidak setuju dengan Ivan Ilich, bahkan dunia pun tetap menganggap lembaga pendidikan formal masih sangat penting. Tapi gejala jual beli gelar akademik menjadi bukti apa yang dikemukakan Ilich ada benarnya. Tidak sedikt pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat kita yang turut mencari gelar akademik hanya untuk gagah-gagahan guna memperkuat posisi sosialnya. Penguasaha sukses masih merasa hambar kalau belum menyandang gelar MBA. Pejabat negara, pegawai negeri, ulama dan politisi masih merasa belum mantap kalau belum menyandang gelar doktor.

Banyak pejabat, politisi, dan tokoh terkenal memperoleh gelar Doktor dari berbagai institusi pendidikan. Pemberian gelar doktor kehormatan ini tak salah lagi jika kmudian menimbulkan kesan betapa mudahnya gelar doktor kehormatan didapatkan. Mestinya gelar doktor kehormatan menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 21 Tahun 2013 diberikan sebagai tanda telah memberikan jasa dan atau karya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.

Gelar doktor menjadi terasa “mudah dan murah” bila dibandingkan dengan usaha dan jerih payah seorang dosen yang melakukan studi untuk mendapatkan gelar agar terpenuhi syarat akademis sebagai seorang pengajar. Pemberian gelar doktor kepada para pejabat atau pengusaha tidak ada manfaatnya. Kedepan pemberian gelar doktor kehormatan harus dilakukan secara selektif agar tidak terjadi degradasi gelar doktor.

Obral pemberian doktor kehormatan dan praktik jual beli gelar bukan saja telah memprihatinkan, tapi juga memperburuk wajah pendidikan Indonesia. Untuk mengatasi mewabahnya fenomena tersebut, kita harus kaji secara lebih mendalam. Tindakan tegas perlu segera diambil. Pemerintah perlu menata kembali program-program pascasarjana dengan cara memperketat pendirian program pascasarjana dan menutup pascasarjana yang telah ada apabila  tidak memenuhi persyaratan. Banyak program pascasarjana yang masih kekurangan dosen bergelar Doktor. Dosen pengajar/pembimbing/penguji yang  bergelar Doktor diambil dari PNS pemerintah daerah. Ironisnya dosen-dosen tersebut tidak mempunyai Jenjang Jabatan Akademik (JJA) yang disyaratkan untuk dapat mengajar di perguruan tinggi. Ini jelas pelanggaran administrasi akademik. Ibaratnya, sehebat apapun seorang pembalap kalau dia tidak mempunyai surat izin mengemudi (SIM) tetap tidak boleh mengendarai kendaraan. Dan ini pelanggaran lalu lintas.

Tim asessor dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) harus cermat dan tegas dalam melakukan visitasi terhadap program pascasarajana. Jangan karena faktor uang dan belas kasihan begitu mudahnya asessor BAN-PT memberikan status terakreditasi dengan nilai bagus kepada program pascasarjana yang sebenarnya tidak layak mendapatkan status tersebut

Menjamurnya program pascasarjana di tanah air tergambarkan seperti dagangan yang ada di lapak-lapak penjualan. Program S-2 dan S-3 dijadikan sebagai komoditas bisnis, penjualnya penyelenggara program, konsumennya adalah peserta program. Demi uang dan status, beberapa lembaga pendidikan tinggi penyelenggara program pascasarjana menabrak aturan mulai dari pengurangan jam kuliah menjadi 40 menit per SKS dengan istilah “pemadatan” (idealnya 50 menit), manipulasi daftar hadir mahasiswa, kuliah jarak jauh dengan memanfaatkan perguruan tinggi di daerah, jual beli nilai hingga plagiarisme karya ilmiah.

Seleksi mahasiswa pascasarjana harus diperketat. Kesan selama ini asal punya uang seseorang bisa melenggang dengan mudah menjadi mahasiswa magister bahkan doktor. Begitu mudahnya menjadi mahasiswa pascasarjana.

Perlu juga di tata jumlah maksimum mahasiswa yang dapat diterima pada program pascasarjana, ini penting untuk memenuhi rasio jumlah dosen dan mahasiswa. disamping itu untuk mencegah terjadi persaingan yang tidak sehat antar pascasarjana. Pengelola pascasarjana jangan hanya mengejar profit semata dengan menerima mahasiswa sebanyak mungkin. Ada benarnya kata orang bahwa program pascasarjana ibarat lembaga kursus, karena begitu banyak lulusan yang dihasilkan. Program pascasarjana jangan hanya mengejar kuantitas tetapi yang diutamakan adalah kualitas lulusan.

Jika keadaan ini dibiarkan berjalan terus, “buka lapak” akan berkembang menjadi penyakit sampar. Lembaga pendidikan yang semestinya jauh dari kecurangan, larut dalam kondisi permisif dan pragmatisme. Dalam kehidupan yang serba pragmatis, pelanggaran akademis mungkin dianggap biasa. Itulah bagian dari kerasnya persaingan antar perguruan tinggi. Namun, dalam lembaga pendidikan yang (seharusnya) menjunjung tinggi etika akademik, pelanggaran tersebut merupakan aib.

Dunia akademik kita masih terus tercemar oleh watak dan perilaku yang bertolak belakang dengan prinsip keilmuan. Integritas keilmuan menjadi harga mati. Ilmuwan boleh salah tapi tidak boleh bohong. Bahkan ilmuwan sekelas Isaac Newton dan Albert Einstein pun pernah salah dalam teorinya dan dimaafkan. Namun, kebohongan tidak akan pernah dimaafkan oleh komunitas ilmuwan. Jika prinsip ini dilanggar, pasti ada penyebab yang mendorongnya. Budaya instan adalah salah satu faktor yang sering membuat sebagian masyarakat kita mengingkari prinsip kejujuran. Mereka mengejar gelar akademik dengan cara yang mudah tanpa melalui prosedur resmi. Dan, budaya instan ini seperti sulit dihambat di negeri ini. Pelanggaran budaya akademik terkadang mudah dilupakan.

Upaya untuk mengurangi fenomena jual beli gelar akademik atau gelar akademik  abal-abal memang sangat sulit ditengah budaya instan ini. Upaya yang bisa menghentikan praktik jual beli gelar akademik seperti yang pernah diusulkan Hadi Nugraha (2000) adalah desakralisasi gelar. Berbagai gelar akademik tidak usah dicantumkan penyandangnya kecuali dalam lingkungan masyarakat akademis. Dalam lingkungan non akademis, seperti pada instansi-instansi pemerintah dan swasta, seyogianya gelar akademik tidak dipakai. Kita harus mencontoh perusahaan Amerika. Pada perusahaan seperti IBM dan General Electric, para managernya tidak mencantumkan gelar akademis yang mereka miliki, walaupun banyak yang bergelar MBA dari perguruan tinggi bergengsi.

Di negara kita sudah menjadi tradisi untuk menduduki jabatan eselon tertentu seseorang minimal harus bergelar magister bahkan doktor. Akibatnya para PNS daerah berbondong-bondong mengikuti program pascasarjana kelas akhir pekan. Bahkan terkadang antara gelar sarjana dengan magisternya tidak linier, yang penting bergelar magister. Hasilnya sudah pasti tidak akan maksimal. Sudah saatnya aturan ini ditinjau lagi, seseorang yang menduduki jabatan hendaknya dinilai dari skillnya bukan dari gelar akademik yang mereka sandang.

Desakralisasi gelar ini harus dimulai dari atas. Ketika Soekadji Ranuwihardjo menjabat Dirjen Pendidikan Tinggi, ia (hampir) tidak pernah mencantumkan “Prof Dr” di depan namanya dalam berbagai surat resmi. Demikian pula Satrio Sumantri Brodjonegoro ketika menjabat Dirjen Dikti, tampaknya mengikuti kebijakan yang yang dirintis Soekadji Ranuwihardjo tidak mencantumkan berbagai gelar dan pangkat akademisnya. Zainal Ridho Djakfar, mantan Rektor Unsri dan mantan Koordinator Kopertis Wilayah II ketika menjabat (hampir) tidak pernah mencantumkan “Prof Dr” di depan namanya dalam berbagai piagam dan surat resmi. Meski begitu kepakaran Soekadji Ranuwihardjo, Satrio Sumantri Brodjonegoro, dan Zainal Ridho Djakfar tetap diakui dan tidak berkurang walaupun ia tidak mencantumkan gelar “Prof Dr” di depan namanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *